Pages

Labels

Thursday 7 January 2016

Film Action-Romantis


Dia terduduk di sofanya yang empuk malam itu, matanya berbinar bukan bahagia. Ia terlihat letih dengan dasi panjang yang bentuknya sudah tidak karuan lagi. Seakan dia tidak punya daya untuk bergerak, ia geletakkan badannya di sandaran sofa dan membenamkan diri, lebih dalam lagi.

Tangan Suwandi kali hanya bisa memegang sebuah bungkus kaset bajakan di tangannya, sebuah film action yang memiliki banyak sekali serial, dan yang di tangan suwandi malam itu adalah serial yang sangat spesial untuknya.

Bukan karena pemain filmnya yang mirip dengan wajah Suwandi, tapi karena kenangan di dalam film tersebut.

Suwandi berdiri, lalu membuka bungkus plastik kaset bajakan itu, dia keluarkan piringan silver yang ketika kena cahaya, memunculkan bias warna pelangi di dalamnya, perlahan dia usap, dan mulai ia masukkan kaset itu kedalam dvd playernya.

Suwandi kembali duduk di sofanya yang tepat berada di depan televisi, dan DVD itu mulai memainkan film di dalamnya.

Sang jagoan utama langsung mengawali filmnya tanpa ragu-ragu, dia memanjati sebuah helikopter milik musuhnya, dan berkelahi diatas sana. Helikopter yang berencana untuk merusak upacara rakyat Inggris itu, langsung di gagalkan oleh sang tokoh utama. Ia memukul musuh, menghajar musuh, dan seketika menjatuhkan musuh dari atas helikopter. Tak ayal sang karakter utama langsung mengambil alih kendali helikopter, sayang helikopter tak semudah itu dijinakan. Dengan susah payah, akhirnya helikopter yang nyaris jatuh itu, berhasil kembali terbang dengan sempurna, dan upacara rakyat Inggris saat itu, telah berhasil di selamatkan.

“Heroik sekali!!!!!!”, ucap Suwandi, lalu melempar senyum sinis yang langsung memutar ingatannya saat itu.

Suwandi ingat dan hapal dengan adegan-adegan itu, ini bukan pertama kalinya Suwandi menonton film tersebut. Tapi ini kali keduanya, namun dengan kondisi yang jauh berbeda.

Kala pertama ia menonton film tersebut, dia tak menonton sendiri, ia ditemani oleh banyak orang yang juga ingin menyaksikan film tersebut, film yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang saat itu, tapi bukan tentang itu, bukan.

Yang Suwandi ingat adalah orang yang khusus menemaninya menyaksikan film tersebut.

Suwandi ingat jelas saat ia datang terlalu cepat ke bioskop, lalu memesan tiket untuk berdua, dan duduk bersebelahan dengan wanita tersebut. Film baru akan mulai pukul 15:30, tapi dia sudah membeli tiket pukul 14:00, masih ada satu setengah jam untuk menunggu.

Suwandi dan wanita itu lalu pergi keluar area bioskop, dan membeli dua buah waffle, yang sama-sama berisi coklat, menyembunyikannya dalam tas masing-masing, dan nanti akan mereka bawa masuk ke dalam bioskop. Tak ada yang tau dan tak ada yang mau membuka tas kalau kita masuk, kata wanita itu sembari terkekeh menahan tawanya yang lucu. Dia pun tetap memprotes kebijakan bioskop untuk melarang para penontonnya membawa makanan dari luar area bioskop ke dalam studio.

Setelah itu, mereka membeli dua gelas Es Cincau Skotlandia yang kedainya tidak terlalu jauh dari kedai tempat mereka membeli waffle.

“Es cincau cappuccino Skotlandia, kalau kamu wan ?”, tanyanya pada Suwandi.

“Aku samain aja kaya kamu”, jawab Suwandi.

Lalu mereka menikmati Es Cincau Skotlandia itu sembari mencari tempat duduk, menunggu film dan ngobrol membahas tentang apa yang mereka minum.

“Eh, coba deh pikirin. Emang ada ya? Orang Skotlandia bikin cincau? Setau ku, cincau itu adanya di Indonesia aja”, Tanya Suwandi iseng, sembari membunuh waktu yang panjang.

“Ya, mungkin cincau juga pengen sekali-sekali dianggap dari luar negeri, biar keren dan berkelas, serta di anggap pinter dari cincau-cincau yang ada di Indonesia”, balas wanita itu makin iseng.

“Padahal, mau dari Indonesia atau Luar Negeri, kalau tetep enggak mau berkarya, ya ngak bakal sukses juga. Tapi ini sebenarnya cincau, atau mahasiswa sih?”, mereka lalu tertawa bersama, meski bagi sebagian orang joke itu tak lucu, tapi siapa yang boleh mengahalangi cinta? Tidak ada. Karena saat itu, Suwandi telah saling memadu cinta bersamanya.

Suwandi mulai kembali menatap kosong adegan demi adegan di film itu, tak ada gairah, karena sedari tadi otaknya melayang kesana, kepada dirinya yang dulu.

Suwandi dan wanita itu, berlari buru-buru, karena terlalu asik membahas Es Cincau Skotlandia, mereka sampai lupa waktu, dan telah telat sepuluh menit. Mereka lari menuju pintu teater bioskop dan masuk dengan pelan-pelan.

Ruang bioskop sudah gelap ketika film telah berjalan dengan adegan tokoh utama merebut helikopter diatas upacara Rakyat Inggris.

“Kayanya baru mulai deh”, kata Suwadi sembari menarik tas selempang merah dan murah yang ia beli di pasar malam, lalu di taruhnya di bawah kaki, dan duduk.

“Semoga”, jawab wanita itu mulai menenangkan diri di atas kursi.

Film berjalan begitu menarik saat itu, apalagi ketika kepala wanita itu mulai merapat pada bahu Suwandi, Suwandi menenangkan diri, dan menempelkan kepalanya juga ke dekat kepala wanita itu. Film action itu seolah berubah menjadi film drama nan romantis.

Suwandi terbenam, dan mulai memegang tangan wanita itu. Tak ada yang tahu, dan mungkin memang tidak ada yang ingin mencari tahu. Sepanjang film, mereka berdua berpegang telapak tangan, seolah berbicara dalam hati, menyatakan cinta masing-masing.

Ketika film berjalan biasa saja, wanita itu terbangun dari sandaran nyamannya.

“Oh iya, kita nyimpen makanan toh, keluarin, kita makan. Sayang tau, di beli, tapi lupa dimakan”, wanita itu lalu membuka tas kecilnya, dan mengeluarkan sebungkus kecil kue waffle yang mulai kehilangan hangatnya.

“Aku lagi males ngeluarin, aku minta punya mu aja, suapin”, kata Suwandi dengan nada sopan-sopan menggoda.

“Ah, kamu mah begitu. Ini...”, tangannya lalu menyuapkan sepotong waffle lebih kecil lagi ke arah mulut Suwandi. Suwandi merasa tenang, itulah cinta yang ia harap, tak lebih dari itu, itu sudah cukup baginya.

Suwandi menarik nafas, mengingat seluruh wajah wanita itu, mengingat senyumnya, dan mengingat betapa lucu wajahnya yang berhias kacamata, Suwandi makin terbenam dalam sofanya.

Suwandi sadar, mereka tak bisa menyatu. Dinding tertinggi dalam sebuah cinta menghalangi apa yang mereka sebut dengan perbedaan.

“Mungkin hari ini, aku masih akan tetap bisa memegang tangannya”, Suwandi berucap sendiri dalam duduknya.

Suwandi merindukan sosok itu, sosok yang kadang jutek namun penuh cinta di dalamnya. Dan Suwandi juga rindu dikala wanita itu tidak membalas pesan BBM, hampir 2-3 hari lamanya. Suwandi rindu tempat mereka berdua bertemu, di kala sama-sama menjemput adik masing-masing di sebuah acara camp di Samarinda.

Suwandi rindu semua itu.

Mereka tak ingin berpisah, Suwandi mencintai wanita itu, begitupun sebaliknya. Tapi, berbeda tempat ibadah, itulah masalahnya.

Suwandi sudah tidak menghiraukan lagi adegan demi adegan di dalam film itu, dia biarkan film itu berdiskusi sendiri dengan lawan main mereka. Suwandi biarkan film itu menemui alur mereka sendiri, SUWANDI TIDAK PEDULI.

Tangannya menjalar ke meja di depan sofanya, tempat ia menaruh bungkus kaset bajakan tadi. Tangannya mencari-cari sesuatu, dan ia menemukan yang ia cari.

Tangannya sekarang memegang sebuah kertas tebal warna putih dengan tulisan emas di dalamnya. Ia melihat kertas itu agak lama, lalu membantingnya dengan sopan di atas meja.

“Mungkin sudah saatnya aku menghapus ingatanku tentang film ini”, ia lalu menaruh kertas itu, dan berdiri mematikan seta mengeluarkan DVD film tersebut. Suwandi lalu dengan sekuat tenaga mematahkan DVD itu, dan memasukkannya di tong sampah, samping meja TV.

Suwandi lalu pergi ke kamarnya untuk mulai mencoba beristirahat, meninggalkan bungkus kaset bajakan itu di atas meja, bersama tas laptop, dan kertas tebal bertuliskan.

THE WEDDING
HERWIN GUNAWAN & AMEL GAPLY

Terima kasih sudah membaca, selalu berikan comment dan jangan lupa untuk follow aku pribadi saya ya..^^
Twitter             : @pandupandaa
Instagram         : Pandupandaa

0 comments:

Post a Comment