Pages

Labels

Tuesday 10 May 2016

Gerbang Ditutup

Gerbang ini biasanya dibuka untuk umum tanpa syarat, terkadang malah dijadikan akses jalan pintas untuk semua kalangan. Tapi hari ini, aku sama sekali tidak bisa memasukinya dengan mudah. Temanku kemarin terpaksa diusir, padahal hanya sekedar ingin mencari makan di tempat ini. Semenjak banyak kasus kejahatan terjadi di tempat ini, semua sistem berubah. Walaupun banyak pertanyaan di benakku, kenapa bisa begitu mudah orang asing masuk dengan senjata tajam ke dalam Universitas Milenium yang terkenal dan besar ini.

Penjaga-penjaga pos itu kembali menatapku dengan tajam, sedangkan aku masih berdiri tegak di depan gerbang unmil yang sekarang sudah mulai di portal. Para penjaga yang berjumlah empat orang itu, ada yang memerhatikanku, ada yang tidak, tapi ada satu orang penjaga yang melirik sinis dengan penuh amarah. Entahlah, padahal aku hanya ingin masuk ke tempat ini untuk mencari makan, hanya itu.

Aku benci perubahan sistem karena bukan cuma aku yang terkena dampak. Tapi warga sekitar pun merasakan, mereka seolah tidak lagi memiliki unmil seperti dulu karena mereka harus masuk dengan banyak peraturan.

Aku juga melihat ada beberapa mahasiswa yang masuk kampus dengan syarat yang aneh. Mereka wajib menunjukkan stiker berwarna yang di tengahnya ada lambang unmil, agar bisa dengan leluasa keluar masuk universitas. Setelah kulihat-lihat, sepertinya stiker itu semacam identitas pengenal yang membuktikan kalau mereka mahasiswa unmil asli.

“Oh jadi seperti itu?”

Coba aku bisa punya stiker seperti itu, mungkin saat ini aku bisa dengan mudah masuk ke dalam tanpa harus diperhatikan dengan sinis oleh orang-orang yang berbaju sama ini. Sayangnya, aku tidak punya stiker bahkan tidak punya kendaraan untuk menempelkan stikerku. Hari ini atau bahkan seterusnya, tidak mungkin.

Aku benci tatapan penjaga portal itu. Andai aku bisa mendekatinya, aku ingin melakukan sesuatu kepada wajah jeleknya. Sayangnya aku tahu, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling suka berbuat gila bahkan anarkis hanya untuk menegakkan sebuah peraturan.

Aku kembali termenung sambil tetap berdiri lucu. Berapa banyak makhluk yang tidak bisa masuk ke unmil seperti dulu semenjak peraturan gerbang masuk ini berubah? Aku mulai bertanya, penutupan gerbang ini bukan cuma menghalangi rezeki para warga, tapi juga menghalangi cinta beberapa makhluk di tempat ini.

Seperti kawanku kemarin, si Jono yang sudah tidak bisa menemui kekasihnya yang berada di fakultas kehutanan. Aku tahu saat itu si Jono yang hanya seorang petualang pencari makan, tiba-tiba bertemu dengan sosok Vina yang sudah beberapa tahun ini berada di Fakultas Kehutanan untuk mencari makan juga. Mereka jatuh cinta, bahkan sempat bercinta pula di tempat itu. Sekarang aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Vina, karena Jono saat ini sudah tidak bisa dengan mudah menemuinya. Ya, walaupun aku tahu, Jono sekarang sudah punya pengganti lain bahkan bercinta lagi dengan pasangan lain. Dasar kucing garong!!!!

Berbeda lagi dengan nasib kawanku si Uli. Dia melewati tempat ini hanya agar lebih cepat sampai ke tempat keluarganya menetap. Dia adalah pencari makan yang sangat sayang keluarga. Bahkan dengan badannya yang renta, dia hanya bisa membawa satu ikan lalu memberikannya kepada empat anak-anaknya di seberang sana. Saat ini, Uli harus mencari jalan lain yang jaraknya lebih jauh dan melelahkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana si tua itu tidur kalau malam dengan badan yang letih.

“Aku hanya ingin masuk!”

Pria penjaga itu hanya menatap ku dengan sadis.

“Aku hanya ingin masuk mencari makan!”

Kembali pria itu hanya melirik bersiap-siap.

Kurang ajar, ini semua karena para penjahat itu. Mereka merubah sistem yang dulunya mudah menjadi sulit. Sistem yang akhirnya disetujui petinggi mahasiswa di setiap fakultas, lalu disetujui rektor ini, benar-benar menyusahkan semua orang, semua aspek, bahkan semua makhluk.

“Kurang ajar!!! Aku hanya ingin masuk!!!!!”

Aku berteriak sambil menyambar dan berlari menuju pria itu. Ia bersiaga dengan pukulan sejata yang tergantung di sebelah kanan kantong celanannya. Ia memukulku, dan aku terbanting jauh dari tempat pria itu berdiri. Kesakitan, lalu kembali ke posisi sambil menatap pria itu sebentar, lalu aku pergi dengan ke empat kakiku dan melihatkan pantatku pada pria penjaga itu.

Sayup-sayup aku mendengar pria itu memaki.

“Dasar kucing liar! Pergi sana, jangan cari makan di tempat ini!”

“Meoongg…..” sahut ku.

Saturday 7 May 2016

Pohon dan Jumlah Kelahiran Manusia



Adakalanya kita menemukan satu komedi di masyarakat yang menyatakan bahwa sebaiknya kita tidak perlu belajar karena belajar membutuhkan sebuah kertas dan pensil. Pensil dan kertas terbuat dari pohon, semakin banyak belajar dan semakin banyak menulis, berarti semakin banyak menebang pohon. Jika kita tidak ingin merusak alam dan tetap melestarikan pohon, sebaiknya tidak usah belajar.
Dari guyonan tersebut, sebenarnya kita bisa mengambil satu sisi positif kebenaran. Bahwa memang iya, pensil dan kertas terbuat dari pohon yang merupakan jantung bagi alamtempat kita tinggal. Pohon yang bertugas sebagai media pengurai racun dan penghasil oksigen bagi manusia, tentu keberadaanya sangatlah penting dan krusial.
Namun, jika kita mengacu pada komedi tadi, banyak hal yang tidak benar pula, kalau kita sampai menyampingkan ilmu untuk menjaga kelestarian pohon, mungkin pohon akan tetap terus ada, tapi siapa yang menjamin manusia berpendidikan akan tetap ada jika kita menggunakan pemikiran tersebut?
Satu pohon, sebenarnya memang bisa menghasilkan 80.500 lebih kertas[1], cukup banyak jika tidak dibagi kedalam hitungan kecil. Ibarat saja, 80.500 di bagi menjadi 40 lembar yang menjadi buku tulis, ini berarti, 1 pohon hanya bisa menghasilkan kurang lebih 2.012 buku. Jika satu siswa di sekolah dasar yang memiliki 8 mata pelajaran bisa memiliki buku tulis setidaknya 1 untuk 1 mata pelajaran, itu berarti, 1 pohon hanya untuk 251 siswa. Jika satu keluarga masih belum menggunakan sistem KB di dalamnya, bisa jadi satu  keluarga memiliki setidaknya anak minimal 3 bahkan lebih.
Coba kita mengambil contoh satu keluarga memiliki tiga anak, dan ketiganya sedang dalam masa sekolah, baik itu SD, SMP, atau bahkan SMA. Ini berarti, 1 pohon hanya untuk kurang lebih 83 keluarga. Jika dalam satu RW saja sudah terdiri dari 100 keluarga, itu berarti satu pohon lebih, hanya untuk satu RW setidaknya per-semester. Bayangkan jika hitungan ini diperluas dengan jumlah keluarga di Indonesia. Berapa ratus bahkan juta pohon, ditebang hanya untuk membuat sebuah kertas untuk ditulis dan dibaca.
Mungkin memang saat ini, kita sudah mulai menentukan pohon-pohon yang boleh untuk ditebang dan dijadikan sebagai media untuk pembuatan kertas dan alat tulis lainnya. Melalui legal wood[2] mungkin ketakutan tadi bisa sedikit teratasi. Namun apakah bisa legal wood ini  mengatasi permintaan kertas yang terus bertambah setiap harinya, karena setiap hari, selalu ada oang yang lahir dan belajar tanpa henti.
Alangkah baiknya masyarakat memahami semua ini. Tugas penghematan pohon, bukan hanya diemban oleh sosok standar produksi seperti penggunaan legal wood. Namun masyarakat seharusnya mulai peka, dan bisa menghemat penggunaan kertas dan alat tulis mereka.
Selain itu, penghematan tidak akan pernah bisa menghasilkan apa-apa, kalau masyarakatnya sendiri, tidak pernah paham akan pentingnya mengurangi jumlah penduduk. Percuma rasanya men-standar-kan semua sistem produksi kertas dan pensil atau bahkan alat-alat lainnya yang terbuat dari bahan kayu dengan kata legal wood, kalau permintaan semakin hari semakin meningkat.
Alam tidak menyediakan bahan hidup serakus itu, manusia sendiri yang harusnya sadar untuk setidaknya menghemat dan memberikan waktu untuk alam berkembang biak dengan baik. Bukan dengan menghemat seperti mengurangi pembelian buku untuk belajar. Kita tidak boleh berhenti belajar, karena itu adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi setiap manusia. Kalau kita menurangi jumlah buku, dengan cara tidak belajar, itu adalah cara yang salah.
Bahwa belajar itu penting, dan pohon juga sangat penting. Kita seharusnya memang mulai sadar untuk mengurangi jumlah penduduk kita. Jika satu keluarga yang tadinya bisa memiliki anak lebih dari tiga, sebaiknya sekarang mulai dibiasakan untuk memiliki hanya satu. Hitungan tadi bisa sedikit lebih diperkecil. Dimana 1 pohon setidaknya bisa untuk 251 keluarga, berbanding jauh dengan hanya untuk 83 keluarga.
Dari hal tersebut, seharusnya kita bisa paham, bahwa kita juga bisa membantu untuk melestarikan lingkungan kita, dari jumlah keturunan kita. Jadi masyarakat seharusnya paham, bahwa mengurangi jumlah penduduk bukan hanya mengatasi tentang perekonomian, pekerjaan, atau bahkan jumlah makan dan minum kita saja, melainkan alam pun terbantu.
Janganlah manusia terus berkeluh kesah tentang alam yang selalu panas, begitu banyak polusi, atau bahkan kebisingan, dan kehilangan keindahan serta keasrian. Karena sebenarnya, semua itu, terjadi karena pohon-pohon mulai menghilang. Jantung dunia mulai menipis. Hal tersebut bisa jadi, karena kertas-kertas yang kita pakai secara tidak bertanggung jawab saat ini.
Selain kampanye mengurangi pengunaan kertas, dan mengurangi penebangan liar, kita seharunya paham hal-hal pendasar yang lebih penting untuk diatasi ketimbang membuat orang tidak menebang pohon lagi. Karena sebenarnya mereka menebang, juga karena ada orang yang membutuhkan, jika tidak ada kebutuhan yang begitu mendesak, pastilah mereka tidak akan menebang.
Maka dari itu, sebaiknya kita mulai sadar, memahami bahwa yang bisa membangun alam ini agar tetap indah dan asri adalah kita sendiri. Anak muda setidaknya bisa mulai mengurai masalah ini. Memulai hal yang tidak di mulai oleh orang tua mereka. Menunda pernikahan, serta mengurangi jumlah keturunan, adalah hal yang sangat bijak, setidaknya untuk memperbaiki alam kita yang sudah mulai tua ini.
Alam kita butuh manusia yang lebih peka, mereka tidak bisa berbicara, apalagi duduk bersama manusia untuk berdiskusi. Maka dari itu, amatlah bijak jika manusia mulai bisa lebih peka, dan duduk untuk memahami alam dengan sendirinya.
Kesimpulan
Jika kita ingin pohon di negeri ini masih dapat lestari, selain hanya menggunakan cara penghematan, kita juga harus menggunakan cara lain yakni menggurangi penduduk, karena dari pengurangan penduduk tersebut, kita akan bisa menekan pula jumlah permintaan pohon untuk digunakan.
Referensi
Dephut.go.id


[1] Data perusahan pemasok kertas Foex dan conservation International
[2] Legal Wood atau Indonesian Legal Wood adalah logo  yang diberikan pada produk kayu yang telah tersertifikasi oleh departemen kehutanan bahwa produk tersebut sudah diizinkan untuk penebangan, dan penggunaan. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Motivator Muda Kependudukan 2016

Pandu Pratama Putra