Pages

Labels

Thursday 30 August 2018

Belajar dari yang Dicintai


Langkahku membawaku ke kampus hari itu. Si pria yang tidak punya pengalaman organisasi apa-apa ini akhirnya lulus juga. Tinggal urus-urusan kecil di akademik, maka sebentar lagi wisuda tiba. Selepas dari parkiran motor, kaki melangkah menuju ruang akademik melanjutkan urusan, namun terhenti sejenak di sebuah tiang spanduk.

Di sana, terpampang jelas wajah sang dekan dengan almamater beserta tulisan selamat datang bagi mahasiswa baru. “Sehat bapak.” Ujarku dalam hati.

Namun di bawah spanduk sang dekan, terdapat spanduk dari BEM Fakultas, ucapannya hampir-hampir mirip, tapi foto yang dipasang adalah ketua BEM dan wakilnya. Ketua BEM perempuan pertama kali di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman dengan wakilnya yang seorang laki-laki. Ketua BEM yang merekah senyumnya, berbatik kembar dengan wakilnya. Ketua BEM yang baru saja kemarin kuantar naik motor, menuju tempat pemberhentian bis dan ingin pulang ke tempatnya berasal menemui sang ibu dan ayahnya, juga kakeknya. Ketua BEM yang kadang kupanggil kekasih beserta kalimat-kalimat puitis, agar ia malu-malu dan merasa tergombal. Ketua BEM yang jika ada di sampingku dan tidak di dekat kawan-kawannya, maka bukan lagi ketua BEM, tapi pasangan. Ketua BEM yang kalau di hanya berdua denganku lantas berubah seperti bukan orang yang ada di foto spanduk itu.

Menjadi tidak percaya organisasi selama berkuliah rasanya membuatku bertanya-tanya terkadang. Mengapa bisa mendapatkan seorang pelaku organisasi (bahkan ketua) yang mau berbagi permasalahan hari ini dan berbagi cita-cita masa depan. Mengapa ia yang seharusnya bisa memilih untuk mendapatkan yang mungkin seirama langkahnya dalam irama organisasi, tapi malah memilih pria yang tidak jarang bersimpangkan di ranah itu.

Tapi, perlahan aku tau. Kami berdua adalah orang yang terlalu ambisius di jalan masing-masing dan butuh teman berbagi agar tidak terlalu pekat dan malah mengotori pikiran.

Ok..ok.. Kita berbagi kisah saja. Jangan bilang-bilang aku menceritakan ini pada kalian. Karena saat ini dia sedang bersama kawan-kawannya, menyusun LPJ. Aku jamin, ini tulisan yang kalau dipikir-pikir bisa saja ada lucunya, tapi akan lebih banyak membuatmu berpikir lebih keras.

Kami pernah bertanya pada masing-masing. Kenapa kita disatukan, padahal secara fokus pemikiran tidak terlalu sejalan. Bahkan sewaktu-waktu ia pernah berujar kalau dulu ia ingin punya pasangan yang kalau ketemu bisa diajak ngobrol organisasi. Diajak ngobrol soal jadi aktivis. Kok malah dapatnya yang gak suka organisasi, yang bahkan jadi orang paling vokal kalau aku (dia) mau turun ujuk rasa. Bahkan bela-bela-in jemput di tengah aksi berlangsung.

Tapi ia menjawab sendiri di tengah obrolan kita. Katanya, kalau aku dapat pasangan yang sejalan juga, mungkin bakal kacau dan aku akan dipenuhi ambisi-ambisi tidak berujung. Kalau aku dikasi kesempatan untuk mikir dan mutar waktu, kayanya aku enggak bakal milih untuk nyari yang sejalan dan kayanya bakal tetep kembali ke kamu aja. (Tuh kan so sweet, ketularan Pandu mah itu....)

Terkadang aku diam ketika harus diajak berbicara soal ini di depannya. Karena terlalu banyak hal yang susah untuk dijabarkan tentang bagaimana rasanya punya pasangan yang beda jalur pemikirannya. Kecuali aku bilang, “aku mencintaimu kekasih, di jalan manapun kau melangkah, sebab kau tau, aku tidak bosan melangkah jua di sebelahmu.” (Tuh kann..... terbukti.)

Satu hal yang aku sadari dari orang yang kupanggil kekasih itu adalah aku belajar banyak darinya. Tanpa dia sadari, setiap ceritanya tentang anak buahnya di depanku adalah pelajaran yang bisa kuambil tentang menjadi pemimpin bagaimana.

Aku tau, dia bukan pemimpin yang sempurna.

Terlebih menjadi ketua BEM Fakultas Perempuan Pertama. Pola sebelumnya enggak ada yang bisa dicontoh. Ia harus meraba dengan sedikit ilmu dan pengalaman yang ia punya. Merelakan waktu dan pikiran serta emosi yang harus ia curahkan sedemikian rupa.

Tapi aku belajar sikap baik pemimpin darinya untuk tga poin yang selalu kuingat. Selalu bangga meski lelah; Harus kehilangan karena memang harus; Mungkin mereka lebih lelah daripada aku; Membagi meski sulit.

-          Selalu Bangga Meski Lelah

Aku masih ingat ketika debutnya menjadi ketua yang agak serius. Ketika masih berkalung jabatan sekedar staf. Ia ditunjuk untuk menjadi ketua HUT kampus. Acara besar dengan dana besar juga tentunya. Serta tenaga yang tentu saja terkuras demikian lelah.

Proses menuju acaranya panjang sekali. Pertemuan kami bahkan tak jarang harus terkurangi. Jika kau bayangkan bagaimana wajahnya ketika kami menyepatkan diri bertemu dan mengobrol, sungguh lelah sekali, bahkan random-nya itu tidak terobati. Kadang ia jujur kalau ditanya “Sedang lelah?”, tapi tak jarang berbohong dengan geleng kepalanya.

Tak jarang ia mengeluh lelah, tapi berusaha kuberikan asupan semangat seadanya. Entah masuk ke dirinya atau tidak, yang jelas aku telah berusaha.

Selesai acara yang prosesnya panjang itu, lantas kami bertemu lagi. Mulai ketawa-ketawa dan beban di kepalanya sudah lunas. Terbang entah kemana, lantas berlabuh di pulau kita. Aku bertanya bahkan, “Bagaimana? Puas?”

Ia kadang menjawab puas. Tapi di akhir jawabannya ia berkata, “Aku ngapain aja kemarin ya? Rasaku banyak waktu yang terbuang sia-sia. Kebersamaan sama kamu juga. Rasanya kurang semua.”

Ucapannya agak miring. Seolah menyesali yang terjadi. Tapi lucunya. Setelah jauh berbulan-bulan itu terjadi, ia sudah menjadi ketua BEM-nya dan orang lain yang menggantikannya menjadi ketua acara yang serupa. Ketika kutanya lagi soal masa ketika ia menjadi ketua, lantas ia menjawab dengan yakin dan bangga. “Prosesnya panjang sih waktu itu, tapi itu proses kaya lelah yang enggak kepikiran. Aku happy aja ngejalaninya. Semua koordinasi baik, dan bla-bla-bla.” Semua tentang kebaikan orang-orang yang bersamanya.

Entah dia lupa, atau berusaha menutupi. Tapi yang kutau selama proses itu berjalan. Ia masih sempat bertemu denganku. Kadang hanya sebentar dan beberapa kali terucap lelah dan juga amarah-amarah kecil dengan beberapa pihak. Bahkan wajahnya yang kubilang tidak karuan tadi pun lantas ia anggap kemudian sebagai sesuatu yang happy. Yang dia banggakan.

Satu hal yang kupelajari darinya adalah ia selalu bangga dan berusaha lupa meski itu membuatnya lelah atau marah. Tersenyum lantas mengejar lagi yang berikutnya.

-          Harus Kehilangan Karena Memang Harus

Selepas menjadi ketua acara HUT kampus. Dia pernah bilang “Aku udah capek lah begini-begini lagi. Enggak lagi deh. Menguras emosi, kadang.” Kalimat itu keluar selepas acara. Mungkin akan berubah dengan penuh kebanggan kalau sudah lewat dari beberapa bulan. Seperti yang kuceritakan di atas tadi. Tapi, selepas dia bilang seperti itu, dikepala ku terbersit seketika. Nampaknya ia belum selesai. Selepas ini, pasti ada yang lebih berat dari pada ini, di taruh di pundaknya, mau tidak mau. Bahkan ketua BEM (mungkin).

Aku bahkan sempat beberapa minggu setelah itu. Mengiriminnya pertanyaan lewat pesan. “Kalau tiba-tiba kamu disuruh jadi ketua BEM gimana?” Enggak ada angin enggak ada hujan. Enggak ada juga orang yang kasak-kusuk bisikin ke kupingku soal ini. Tapi dugaan seorang mantan pesulap aja. Dan penuh dengan perhitungan-perhitungan matematis.

Lantas ia menjawab. “Enggak lah. Lagian aku enggak mau. Aku mau baikin kuliahku yang kemarin.”

“Beneran? Janji?”

“Iya.”

“Aku Screenshot loh ya. Buat bukti kalau kapan-kapan kamu mau naik ketua BEM. Tinggal aku tunjukin chat.”

Lantas dia tertawa lewat emoticon dan berujar, “SS aja.”

Kemudian beberapa bulan selepas itu. Konflik terjadi. Dugaanku benar seratus persen. Semua orang menyuruh dia naik jadi ketua BEM sedangkan dia sadar pernah berjanji untuk tidak, padaku. Sayang banget, SS-nya udah kehapus karena handphone enggak bisa ajak kompromi. Untungnya, itu enggak pernah kehapus di ingatan kami berdua.

Kami duduk sore itu membicarakan sebuah keputusan. Menjadi ketua BEM dan mengurusi itu hal-hal yang ada di kampus, tentu tidak semudah yang orang bayangkan. Banyak hal yang harus hilang. Termasuk waktu kami berdua, dan tentang kuliahnya yang harus ia baiki.

Tidak ada yang setuju saat itu termasuk orang tuanya, termasuk saya tapi ia tidak punya pilihan lain. Tidak ada calon yang berani mendaftar. Yang berkompeten dan dianggap mampu serta punya relasi baik dengan kampus hanya dia. Jadi ia pun turun saat itu dan lantas menang serta menjadi ketua BEM.

Semua orang bahagia saat itu. Pendukungnya, orang-orang akademik kampus (karena merasa akhirnya punya ketua BEM yang relasi dan komunikasinya baik), mungkin juga dia. Tapi saya yakin tidak separuhnya. Kebahagiaannya terganjal dengan kesadarannya akan ada banyak hal yang harus ia relakan hilang dari hidupnya. Terutama waktu dan juga pikiran. Untuk dirinya sendiri, keluarga, pendidikannya dan mungkin kita.

Hal yang kupelajari dari ini adalah tentang kesadarannya untuk rela hilang akan sesuatu. Saat itu bahkan aku berusaha mengelaknya dengan emosi (waktu itu masih enggak iklas aja, dia ngingkari janji). “Kamu bisa loh untuk bodo amat dengan ini, sedangkan orang di luar sana diam-diam aja, happy-happy aja tanpa ada yang harus hilang dari hidup mereka. Kenapa harus kamu yang merelakan dirimu di sini?”

Tapi jawabannya yang membuatku paham benar bahwa ini pilihan berat untuk dia dan pilihannya saat itu adalah yang terbaik yang bisa dia dapatkan dan aku belajar tentang mengiklaskan banyak.

“Iya sih. Tapi kita enggak pernah tau. Siapa tau mereka lebih banyak yang hilang dari hidup mereka, dengan aku tidak memilih keputusan ku saat ini.”

-          Mungkin Mereka Lebih Lelah Daripada Aku

Seperti kisah yang sebelumnya. Ia selalu punya kepercayaan soal hidup ini bukan soal kita aja, tapi juga soal orang lain. Sebagai ketua BEM yang tidak enakan. Kadang menjerumuskan dirinya ke berbagai macam situasi yang melelahkan dirinya sendiri. Aku sebagai orang awam, yang tidak tahu menahu soal organisasi seperti BEM dan hanya melihat BEM selama ini berjalan di kampus, kadang protes.

“Seingetku, ketua BEM yang sebelum-sebelumnya, enggak seribet ini deh. Enggak secapek ini. Kamu kok sampai begini?”

Dan jawabannya selalu sama, “ya.. kita enggak tau aja. Siapa tau mereka dulu ribet juga. Sudah ah, jangan suka begitu. Aku enggak capek kok. Biasa aja ni.”

Selalu seperti itu. Kadang ia kerap menutup lelahnya dengan berkata sebaliknya. Jika dulu ketika jadi ketua acara, lelah dan dan wajah randomnya yang tidak terobati bisa dihitung dalam beberapa minggu akan hilang, saat ini wajah-wajah seperti itu kadang tiba-tiba datang dipertemuan yang paling dirindukan. Ketika lama sekali tidak bersua. Lantas bersua, bisa saja ia menekuk wajahnya tanpa ia sadar. Bahkan setipis apapun, aku tahu itu.

Satu hal yang kupelajari lagi darinya adalah. Sebisa mungkin tidak berkata lelah meski lelah. Mungkin itu terjadi karena dia memegang kepercayaan bahwa mungkin orang lain lebih lelah darinya.

Ia orang yang paling handal bersembunyi dari lelah kepada orang lain. Tapi tidak handal menyembunyikan lelah dariku. Kadang aku sering melihat senyumnya merekah lebar ketika di depan staf-stafnya. Tapi lantas luntur ketika bertemu denganku.

Ia mengaku memang. Aku adalah pengecualian banyak dalam hidupnya. Kepalsuanku (dia) kadang tidak banyak bisa terjadi di depanmu (aku). Walapun terkadag jadi pertanyaan tentang kenapa ia begitu. Mengapa wajahnya tertekuk, namun ketika ditanya kenapa, ia selalu menjawab, “Aku tidak kenapa-kenapa.”

Bahkan kami sering berselisih hanya soal ini. Ia terus saja menyembunyikan alasan. Sedang aku berharap diberitahu penyebabnya. Tapi, aku sadari, menjadi dia bukan perkara mudah. Membagi diri, sangat tidak gampang.

-          Membagi Meski Sulit

Kadang. Ini yang jadi permasalahan kami. Tapi, menjadi tantangan besarnya. Jika ia ingin menyerah denganku. Mungkin mudah saja. Tapi aku bersyukur dengannya, karena bukan itu yang dia pilih. Ia memilih untuk membagi. Meski seharusnya tidak untuk dibagi. Ia memilih untuk membagi meski sulit. Ia memilih untuk sulit ketimbang kehilangan.

Kadang ia tak punya waktu, bahkan barang sejenak mengabariku. Kadang ia tak punya kesempatan, bahkan barang sejenak menepikan. Ia bahkan sering diserang oleh berbagai pihak yang berusaha dia bagi. Untuk meminta lebih atau semua darinya. Padahal itu tidak mungkin. Tidak kupungkiri. Kadang aku juga menjadi pihak yang begitu. Tapi ia masih bertahan.

Ia relakan banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk membuka novel dan analisis calon skripsinya. Untuk pilihan besar yang dia pilih saat itu. Tapi ia memilih berdiri untuk membagi, untuk tidak menghilangkan satu apapun, walaupun intensitasnya kurang.

Ia lebih memilih untuk membagi dari pada kehilangan itu sama sekali. Ia sadar bahwa lebih baik kurang ketimbang kehilangan karena penyesalannya pasti tidak akan pernah terbayar.

Aku belajar banyak soal ini darinya. Bahkan ini yang bisa kubawa kelak kalau bisa hidup bersamanya. Hidup membawa kita pada pembagian-pembagian yang sulit. Aku sadar kadang soal itu, walau kadang suka lupa tentang beratnya ini di hadapannya. Kadang suka membawanya pada perdebatan-perdebatan soal ini.

 ***

Sebentar lagi, mungkin ia akan selesai tugasnya. Setelah itu akan fokus menyelesaikan tugas akhir yang ia janjikan akan segera ia selesaikan secepat mungkin. Ia ingin membukti bahwa ia bisa lulus cepat meski pernah menjabat sebagai ketua.

Berapa hari yang lalu, ia berujar padaku. Apa aku salah pilih penerus?

Aku tahu maksudnya. Ia lelah.

Ia binggung karena tidak menemukan dirinya di orang lain yang ia temui setahun ini. Orang yang ia pikir seharusnya mampu melanjutkan tapi orang-orang tersebut tidak ada yang sepertinya. Ia itdak mengatakan ia baik, tapi rela kehilangan banyak untuk menyukseskan, mengapa ia tidak temukan.

Meletup-letup mungkin lelah di kepalanya. Sampai terucap kalimat itu ketika kami sedang menghabiskan beberapa jam malam hari di sebuah lantai cafe tempat kami menyeruput soda gembira dan coklat dingin serta teh panas.

Aku tidak bisa berucap banyak. Tanpa ia sadari, aku orang yang di luar dari tempatnya yang ia ketuai bahkan bisa belajar banyak. Aku yakin orang yang satu forum dengannya pasti belajar lebih banyak lagi. Terima kasih atas kesanggupannya untuk tetap tanpa pergi.

***

Terima kasih.
Sehat selalu.
Dan aku minta maaf.
Tersenyumlah terus padaku kekasih, meski itu hanya terekah sebelum engkau terlelap.




Samarinda, 30 Agustus 2018