Pages

Labels

Thursday 12 October 2017

Gratis (Mencintai atau Pura-Pura Mencintai)



-Tulisan ini bukan tulisan yang berlandaskan buku-buku atau referensi-referensi yang kuat. Tidak ada kutipan, apalagi kata para ahli. Saya cuma mencoba menuangkan hasil bacaan saya yang minim. Mencoba meluruskan dengan logika-logika sederhana. Semoga berkenan.-

Ketika saya menulis tulisan ini, saya masih belum selesai membaca buku Free karya Chris Anderson (tentu saja yang sudah diterjemahkan dengan judul Gratis). Ketika membeli buku itu, saya teringat dengan buku Pandji Pragiwaksono yang judulnya Indiepreneur. Buku yang juga ditulis Pandji dengan beberapa referensi salah satunya dari buku Free karya Chris Anderson (mungkin beliau baca yang bahasa Inggris kali ya).

Ketika membaca dua buku itu, saya terbuka soal apa itu gratis.
Kalau menurut Chris di bukunya, gratis itu hanyalah sebuah konsep yang tidak bisa dijelaskan dengan angka apalagi nominal uang. Gratis adalah angka yang berbeda, dia bukan minus apalagi plus. Gratis bahkan sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang lebih mahal dari pada mahal itu sendiri.

Contohnya sederhana.
Gratis sebenarnya hanyalah pembuka jalan bagi calon penikmat. Coba pikirin, pernahkan dengar penjual narkoba yang memberikan secara gratis suatu barang kepada calon langganannya. Ketika sudah ketergantungan, maka yang tadinya gratis akan berubah menjadi mahal dan lebih mahal dari yang kita pikir murah.

Gratis sebenarnya adalah sebuah jalan.
Bahkan gratis bisa digunakan oleh para pekarya sebagai jalan untuk melawan pembajakan saat ini (ini bisa anda baca dari bukunya Pandji - Indiepreneur). Jadi gratis bisa baik, bisa buruk.

Tapi benarkah apabila kita meminta gratis?

Saya masih belum punya contoh pengalaman pribadi, tapi saya coba menceritakan yang diceritakan oleh Pandji di bukunya. Soal pengalaman gratis yang dia alami.

Jadi Pandji adalah seorang pekarya. Ia membuat sebuah album rap yang dia produksi sendiri, dia kerjain sendiri dan dia jual sendiri. Ketika albumnya sudah selesai, datanglah kawan baiknya. Lalu ujuk-ujuk minta gratis. Secepat itu juga Pandji menolak untuk memberikan dan temannya itu malah mengatai Pandji pelit dengan dalih "padahal temen".
Pandji pun berkelit, menurutnya, seharusnya orang yang paling pertama menghargai karyanya adalah teman-teman baiknya, karena teman-teman baiknya itu tahu bagaimana sulitnya Pandji memproduksi, bagaimana ia kurang tidur karena membuat karyanya dan lain sebagainya. Lalu temannya meminta gratis, "apakah masih bisa disebut temannya itu menghargai sesama teman?" (ini pertanyaan yang muncul dari saya sendiri).

Sedangkan Pandji melanjutkan ceritanya dengan ketika ia bertemu salah satu personil band yang ia cintai. Dengan senang hati ia menyodorkan albumnya itu kepada sang idola, ketika sebelumnya sang idola yang ia kenal juga menanyakan album barunya. Namun sang idola malah menolak pemberian Pandji dan mengatakan bahwa ia akan membelinya sendiri nanti. Beberapa minggu kemudian ia bertemu lagi dengan sang idola sudah memegang album Pandji lalu meminta tanda tangannya. Padahal sang idola tidak begitu akrab dengan Pandji, tapi malah lebih menghargai karya orang lain.

Dengan cerita itu membuktikan bahwa masih banyak orang yang atas dalih teman sendiri, berusaha untuk tidak menghargai apa yang temannya buat. Ruang lingkup ini masih bisa meluas, semisal karena satu kelas maka minta digratisin; masih satu jurusan makanya minta digratisin; masih satu fakultas makanya minta digratisin. Bahkan di Indonesia semua bisa minta digratisin kalau gitu, dengan dalih, "kita masih sama-sama Indonesia". Kalau begitu terus, yang bayar kapan?

Gratis itu bukan sesuatu yang haram.
Dia bisa jadi sesuatu yang digunakan untuk mengungkapkan rasa terima kasih atau imbalan atas sesuatu. Tapi kalau meminta gratis, itu yang nggak bener.

Karena sejujurnya di dunia ini nggak ada yang benar-benar gratis.
Yang ada hanyalah "sudah dibayarkan oleh pihak lain".

Saya ngambil contoh seperti yang Pandji contohkah dalam bukunya.
Makanan yang ada di undangan resepsi orang. Ketika kita memakannya, kita berpikir bahwa makanan itu adalah makanan gratis, padahal tidak. Makanan itu bayar, hanya saja yang membayar adalah orang lain, lalu kita yang menikmati.

Kita bisa menikmati suatu acara musik secara gratis. Loncat-loncat dengan rasa bahagia karena musik dan juga karena tidak membayar acara tersebut. Kita berpikir bahwa itu gratis. Padahal tidak. Yang kita tonton itu sudah di bayar, oleh apa? oleh sponsor. Lalu apakah kita benar-benar tidak membayar, No.... Kita membayar, tapi dengan apa? dengan attention.

Mulai dari pamflet sampai baliho. Mulai dari gerbang masuk acara musik, sampai ke tata panggung acara. Tengok, apa yang kau lihat? logo-logo sponsor. Semua itu kalian lihat dan kalian resapi, lama-lama kita akan membeli produknya kemudian. Jadi apakah kita tidak membayar? bukan, kita membayar, hanya saja medianya bukan uang, tapi perhatian yang teralih. Lalu bisa jadi akan menjadi uang ketika kita akhirnya membeli produk yang mensponsori acara tersebut (bisa jadi karena tersugest oleh banyaknya tampilan logo yang terpampang dimana-mana).

Jadi sebenarnya sesuatu yang gratis tidak benar-benar gratis. Ada yang membayarkan, tapi bukan kita.

Lalu, ketika ada suatu acara lalu kita bilang "ah, seharusnya acara ini nggak bayar." anda salah besar. Anda masuk saja acara itu. Pasti mata anda tidak akan dimanjakan dengan logo-logo sponsor yang bertebaran. Bisa jadi itu yang mereka kejar (mengurangi polusi penglihatan), atau acara yang anda datangi adalah acara yang idealis, menyimpan begitu banyak estetika yang tidak bisa disesuaikan dengan sponsorhip, atau ada sesuatu hal yang membuat sponsor tidak bisa menyentuh mereka, bisa jadi karena syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang nggak bisa diterobos.

Ada begitu banyak hal yang membuat kita tidak sadar. yang akhirnya malah membuat kita merengek dan meminta gratis.

Padahal, meminta gratis itu mempertaruhkan harga diri loh.
Ketika kita meminta gratis, kita baru saja jatuh pada moment di mana, kecintaan kita pada sesuatu hal dipertanyakan.

Coba saya kasih contoh, sekalian sebagai closing tulisan ini.

Ketika anda mencintai pemusik, sebut saja Band A. Anda tentu akan sangat menghargai mereka toh? Lagu-lagu mereka anda dengarkan. Lalu tiba-tiba, band yang anda cintai membuat konser dekat dengan rumah anda. Lalu beruntungnya, anda punya teman yang ternyata panitia dari pelaksana acara konser tersebut. Lalu berhubung teman, anda datang lah pada teman anda itu lalu bilang. "Bro, aku ngefans banget tau sama si Band A itu. Cinta mati pokoknya, semua lagunya ku dengerin. Hafal di luar kepala. Btw, denger-denger kamu yang jadi panitia konser mereka di sini ya? Boleh dong minta gratisnya?"

Terus si teman menyahut, "Jadi minta gratis nih? Nggak mau bayar, murah loh. 50 rb aja."

"Ah, 50rb mah sayang, mending buat beli kuota, terus download lagu-lagu mereka di youtube. Puter deh di laptop sampai jelek."

"Kalau begitu, kamu nggak bisa dibilang menghargai mereka. Pertama, download di youtube. Harusnya beli kaset mereka yang asli. Kedua, kamu minta gratis, padahal mereka nyanyi dan main band dengan sekuat tenaga. Sebelum konser mereka latihan bahkan nggak tidur. Lalu kamu hanya menghargainya dengan gratis? Cintamu dengan band A patut di pertanyakan. Mencintai atau pura-pura mencintai?"