Anak kecil
itu baru saja turun dari motor. Ia menyalami tanganku dan lekas masuk ke area sekolah
dasar yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami tinggal. Temannya telah
menyambutnya di depan pagar sekolah, mereka bergandengan dan menuju kelas
bersama. Begitu manis memang persahabatan anak-anak seperti adikku yang baru
kelas dua sekolah dasar itu.
Melihat
semua sudah aman, kembali aku melanjutkan perjalanan untuk kuliah. Bersama motor
bebek hijau yang sudah lama tidak dimandikan, aku menuju kampus dengan santai.
Perjalanan dari rumah menuju kampus kira-kira membutuhkan waktu 45 menit.
Sedangkan jam mata kuliah hari itu, mulainya masih lama. Sungguh tidak berdosa
bila aku tak terburu-buru mengendarai motor untuk dapat sampai tepat waktu.
Sekolah Dasar
tempat adikku menuntut ilmu itu, sebenarnya berlokasi di jalan yang ketika aku SMP
dulu, sering kali aku lalui. Jalan yang sering aku gunakan untuk pergi menuju
ke sebuah warnet tempatku bermain game
atau sekedar browsing dan buka facebook untuk pasang status-status aneh
yang menjijikan. Di jaman itu, facebook
masih hangat-hangatnya. Pasang status pun tak semudah saat ini. Kalau sekarang,
ketika merasakan perasaan galau atau lain sebagainya, maka saat itu pula kita
bisa langsung meluapkannya melalui status yang bisa dipasang melalui smartphone. Sedangkan saat itu, semua
serba delay. Galaunya hari senin,
pasang statusnya hari minggu. Semua bergantung kapan punya waktu untuk bisa
izin pergi ke warnet sama emak, dan kapan juga punya uang 3000-4000an untuk
bayar warnet per-jamnya.
Pagi ini,
aku kembali menyusuri jalan yang sering kupakai saat SMP dulu. Kulalui semuanya
dengan pelan-pelan. Bedanya, saat itu berjalan kaki, hari ini pakai motor. Mau selambat
apapun juga, tak akan sepelan saat berjalan kaki dulu.
Kanan-kiri, semua
telah berubah. Telah banyak rumah-rumah. Tidak seperti dulu, lahan-lahan
kosong, baik yang sudah dihampar tanah merah atau yang masih rawa-rawa,
sepertinya telah tiada. Sekarang, nyaris tak ada tanah yang kosong. Semua
tempat telah dibanguni rumah-rumah.
Hamparan
rawa-rawa tanah kosong yang dipenuhi selain rumput, tapi juga daun talas yang
lumayan banyak, sepertinya juga turut jadi korban pertumbuhan jaman. Masih
teringat di ingatan saat itu. Tepat di samping rawa-rawa, terbangun bangsalan
yang jalanannya bisa nembus dari satu gang ke gang lain. Jaman dulu, jalanan tembus
itulah yang jadi penolongku dan kawanku untuk bisa sampai di warnet dengan
waktu yang lebih singkat. Kami harus melewati tempat itu agar tidak kalah cepat
dengan anak-anak lainnya yang juga sedang getol-getolnya main game di warnet dan biasanya memenuhi
seluruh unit komputer terlebih dulu ketimbang kami.
Sekarang,
tempat penuh daun talas itu telah jadi alas rumah beton dengan gaya minimalis,
mirip produk-produk perumahan yang kalau hari senin harganya naik. Rumah
gandeng warna putih dengan beberapa aksen warna merah berdiri kokoh di sebuah
rawa-rawa yang sempat jadi saksi obrolan keseruan game yang baru aku dan temanku mainkan. Pagar besi anti karatnya
yang berwarna hitam dengan halaman yang cukup untuk menaruh satu buah city car di dalamnya telah menutup banyak
kenangan anak-anak. Lenyap sudah tanah kosong itu. Walaupun, bangsalan dengan
jalan tembusannya itu masih berdiri jantan dengan tidak ada perubahan kecuali
mungkin para penghuninya.
Sebuah
warung sederhana penjual sembako di sisi kiri jalan juga masih terbangun dengan
sama. Bedanya, sisi kanan dan kiri rumah yang berjualan sembako itu sekarang
telah dibanguni oleh rumah-rumah. Aku mulai mengingat-ingat, kapan otak ini
mulai menyadari bahwa kecanduan game
online dan sering menghabiskan waktu di warnet saat itu adalah hal yang
sia-sia? Lebih-kurang, sekitar kelas dua SMP. Mulai sejak itu, aku mengurangi porsi
bermain game di warnet, sampai
akhirnya ketika SMK, semua benar-benar kutinggalkan. Semua yang berkaitan
dengan fire in the hole, headshot, double kill ataupun chain killer.
(BTW – Cuma anak warnet yang ngerti itu apa.)
Aku berbelok
di sebuah jalan yang meliuk bagai ular. Jalan ular ini adalah ciri khas gang
ini. Belokan ke kiri sekali dan kanan sekali, maka hawa-hawa warnet itu pun
akan datang. Dulu, ketika sudah melewati belokan ini. Itu artinya, aku telah siap
untuk membuka pemberitahuan facebook
ataupun lekas-lekas login untuk kembali
melempar-lempar bom dalam sebuah clan war.
(Anak warnet di tahun 2008-2010an pasti tau game
apa yang sedang kita bicarakan ini.)
Pagi ini,
aku merasakan antusias itu lagi. Mengingat-ingat apa yang telah lama terlupakan.
Aku membayangkan game-game yang pernah kumainkan. Aku membayangkan bagaimana
bahagianya ketika seminggu tidak membuka facebook
dan kemudian membukanya lagi sembari dengan gugup melihat beberapa orang yang
menyukai dan juga mengomentari status yang telah seminggu lalu kubuat. Ya….,
perasaan itu kembali.
Dengan
berjalan kaki, seharusnya warnet itu tidaklah jauh dari belokan kanan. Benar. Aku
melihat bangunan warnet itu. Bangunan yang sudah kehilangan pagar rumah. Warnet
itu juga sudah kehilangan penghuninya. Komputer-komputer di dalamnya pun tentu
saja sudah tidak ada. Tanaman rambat liar pun telah naik hingga ke atap dinding
bangunan luar. Kalau ada penggambaran rumah kosong dalam film-film horror, ya
mungkin warnet itu saat ini adalah copy-paste
style-nya gaya-gaya rumah berhantu. Kebetulan
sekali. Pagi ini, ada beberapa orang yang membawa palu dan gergaji yang
sepertinya akan merenovasi tempat itu. Aku beruntung, masih bisa melihat
kondisi warnet itu sebelum berubah total. Mungkin saja besok, lusa atau kapan
saja, bangunan itu akan rubuh dan tergantikan oleh bentuk-bentuk lainnya.
Setelah
melewati warnet itu, aku kembali fokus bermotor untuk pergi menuju kampus.
Waaa…
Perubahan
begitu cepat. Bahkan sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana ramainya
warnet itu. Bagaimana ekspresi wajah sang pemilik saat tahu warnetnya dipenuhi
oleh anak-anak yang tergila-gila pada internet dan game-game online, yang artinya semua itu adalah ladang uang untuknya.
Masih teringat di kepalaku bagaimana warnet itu berkembang dari hanya memiliki
5 unit komputer dan kemudian bertambah 10 unit dan kemudian 15 unit lagi. Bagaimana
jam operasi warnet itu yang tadinya hanya buka sampai jam 11 malam, lalu dibuka
selama 24 jam non-stop. Warnet itu memasuki masa jayanya hingga akhirnya kalah
bersaing dengan warnet-warnet yang baru,
fresh dan berani memberikan harga
sewa yang lebih murah.
Semua
berubah.
Kita pun demikian.
Jalanan yang kulewati pagi ini buktinya. Bangunan-bangunan yang kulihat pagi
ini buktinya. Warnet yang telah bangkrut ini buktinya. Semua berubah seiring
berjalannya waktu. Kita sendiri bahkan tidak pernah tahu kapan perubahan itu
akan datang. Tugas kita adalah mempersiapkan diri atas segala sesuatu. Tak
selamanya yang di atas akan terus di atas dan juga yang di bawah akan tetap
terus di bawah. Semua bisa saja berubah kapanpun.
Kita tidak
punya kuasa untuk menahan apapun. Maka berusaha adalah harga mati untuk bisa
tetap hidup dan bertahan.
Selesai-
0 comments:
Post a Comment