Pages

Labels

Thursday 28 December 2017

Desember yang Hebat dari Pertemuan yang Hebat

Bulan Desember tahun ini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat luar biasa untuk hidup saya. Ada banyak tantangan yang saya ambil. Semuanya, tentu menguras tenaga, juga pikiran.
Terbiasa dengan situasi santai, membuat saya sadar ada sesuatu yang berjalan lamban dalam hidup. Tidak ada sesuatu yang saya kejar. Tidak ada motivasi yang muncul. Bahkan, kebanyakan gundah yang membebani.
Tapi, pertemuan itu adalah sesuatu yang saya syukuri dan mengubah banyak hal.

Malam ini, saya tersenyum kecil dengan catatan ringan dari seorang wanita di dalam blog-nya. Catatan yang pernah saya baca beberapa bulan lalu, ketika pertama kali berkenalan dengan sosoknya. Sampai hari ini ia masih tidak tahu. Catatan yang memuat namanya, tanggal lahirnya, juga tentang cita-citanya bisa mengelilingi Eropa. Entah sudah banyak kali saya ulang membacanya.

Wanita luar biasa.
Wanita yang tidak ingin kalah.
Wanita yang membukti.
Begitulah yang bisa saya tangkap setelah akhirnya saya bisa mengenal dirinya tidak hanya lewat tulisan.

Hal-hal yang terjadi di bulan Desember ini, adalah sesuatu yang terjadi akibat pertemuan kami. Saya rasa, pertemuan kami adalah pertemuan yang hebat. Pertemuan yang memang seharusnya dipertemukan. Banyak hal-hal kebetulan yang mengiringi pertemuan kami. Serta, semakin banyak yang kebetulan itulah yang membuat saya merasa bahwa ada sesuatu yang perlu kami syukuri dari pertemuan ini.
Mungkin pertemuan itu, salah satunya adalah untuk bulan Desember yang hebat ini.

Sudah 3 tahun. Sebentar lagi, saya akan mengakhiri studi saya di perguruan tinggi. Terlepas apakah setelah ini akan berlanjut ke jenjang berikutnya atau tidak. Tapi lulus dari tempat ini, mungkin akan sedikit lebih dekat dengan mata. Tepat di tanggal 22 Desember 2017. Saya melakukan seminar proposal yang hebat itu. Seminar yang tadinya saya pikir tidak akan pernah tercapai karena kesibukan yang begitu padat, tapi akhirnya terlaksana juga.
Mondar-mandir saya ke akademik, ke kantor dosen, hanya untuk menyesuaikan jadwal yang mepet karena ujian, membuat saya hampir menyerah. Tapi wanita yang hebat itulah yang mendorong. “Emang harus dipaksa, kalau nggak gitu, nggak bakal bisa cepet. Usaha dulu.” Katanya, Membuat saya tahu. Belum waktunya menyerah.
Sampai tiba di tanggal yang akan terus saya ingat itu. Semalaman saya tidak tenang. Bolak-balik kaca hanya untuk menghafal tiap kata per kata materi yang akan saya sajikan ke dosen-dosen hari esoknya. Ia tersenyum esoknya, “Sudah siap?” Aku hanya bisa menjawab dengan senyum. Lalu aku masuk ke ruangan dengan yakin. Ada banyak orang yang mendoakan di luar sana untuk keberhasilan. Orang tua, teman-teman, serta tentu saja wanita yang tersenyum sebelum saya masuk ruangan tadi.
Luar biasa. Sampai saat saya menulis tulisan ini. Saya masih tidak percaya saya bisa melewati seminar itu dengan mudah. Tentu ini belum selesai, tapi sampai sini. Saya sudah benar-benar bersyukur. Dengan nilai yang tidak kecil tentu saja.
Selepas hal luar biasa yang ada di dalam ruangan itu. Saya bertemu lagi dengannya. Tepat duduk di sampingnya, saya menarik nafas panjang, menghembuskan dan lalu saya bilang. “Selesai satu.”
“Besok ada lagi.” Sembari tersenyum, membuat keindahan hari itu menjadi lengkap.

Benar, tepat di tanggal 23 Desember 2017. Satu lagi, hal yang tidak akan pernah saya lupa, terjadi. Peluncuran buku kumpulan cerpen Demam di Kota Zeyn. Buku tipis, yang menguras banyak emosi, tenaga, juga pikiran. Buku tipis yang kehadirannya disertai banyak sekali memori-memori yang sulit saya lupa. Buku tipis yang pertama kali hadir, karena wacana saya dengan wanita hebat itu.
Merealisasikan buku dan acara peluncuran itu juga sebenarnya menjadi salah satu bukti betapa saya sangat mensyukuri pertemuan kami. Buku itu, memang yang menulis saya. Tapi, semangat dari buku itu adalah semangat kami berdua. Melihatnya lahir, seperti melihat angan-angan yang tidak pernah kami bayangkan akan benar-benar terwujud.
Terlebih acara peluncurannya. Saya mencoba membayang-bayangkan bila saya tidak bertemu dengan wanita hebat ini. Apakah kiranya saya bisa berhasil? Mungkin wacananya terlempar. Tapi realisasinya yang agak saya khawatirkan.
Banyak hal yang hampir membuat saya mengurungkan niat untuk benar-benar serius dengan karya terbaru saya. Membuatkan peluncuran? Wah, itu hal yang luar biasa. Jika saya sendiri, pasti akan kembali goyah di tengah perjalanan, dan mungkin membatalkan.
Tapi wanita hebat itu menjaganya. Kadang saya ingin menyerah. Tapi ketika melihat wanita hebat ini, saya jadi malu menyerah. Ia wanita tangguh. Banyak hal yang tidak ingin ia selesaikan dengan kata menyerah. Lalu mengapa saya menyerah? Terlebih ia selalu bilang. “Bismillah. Pasti bisa.” Membuat saya tahu, bahwa saya mampu.
Nyatanya. Meski dengan tertatih-tatih. Kami bersama-sama (tentu dengan bantuan teman-teman lainnya) tanggal 23 Desember 2017 dapat saya laksanakan. Peluncuran berjalan indah. Meski sederhana, tapi rasanya semua menakjubkan. Bahkan ketika saya duduk di atas panggung. Berbicara mengenai karya saya. Saya masih hafal bagaimana tatapan semua penikmat malam itu.
Saya mungkin sendiri di atas panggung malam itu untuk membicarakan buku saya. Penonton mungkin melihat saya sendiri malam itu. Tapi sejujurnya tidak. Saya di atas sana, ditemani oleh semangat dari wanita hebat itu. Wanita yang malam itu duduk pula di antara para penonton. Setia, ia menemani.

Selepas semua terlaksana. Rasanya ringan. Saya kembali duduk di sebelah wanita hebat itu dan saya menarik nafas panjang untuk kemudian saya hembuskan dan bilang. “Akhirnya, semua selesai.” Lalu ia hanya tersenyum kecil menampakkan lesung pipi yang akan terus saya ingat.

Malam ini, ada hal yang mendewasakan kami.
Ada hal yang membuat kami tahu bahwa kelak, akan lebih banyak lagi hal yang akan kami hadapi. Kami sadar bahwa akan ada pelajaran yang perlu kami gali.

Malam ini juga kami tahu. Sebegitu keras hal-hal itu datang. Tepat pukul sebelum tidur. Kami harus memaaf. Tidak akan ada hal yang bisa kita selesaikan dengan pikiran-pikiran jahat.
Harus selalu ada kelembutan yang dimiliki kata maaf dan tetap harus selalu kami pegang.

Saya kembali bersyukur. Saya bertemu dengan orang yang tepat. Orang yang paham benar tentang ambisiusnya saya. Orang yang paham benar bagaimana paramater emosi saya. Orang yang punya senyum terlalu membekas di ingatan.

Satu hal yang ingin saya sampaikan.

Kepada wanita hebat yang saya panggil Niwa. Terima kasih.
Tetaplah. Menetaplah. Yakinlah.

#PANTANGKALAH
28 Desember 2017

Tuesday 7 November 2017

CATATAN YANG MENUA




Tepat tanggal 28 Oktober 2017 yang lalu, saya menikmati malam minggu yang berfaedah dengan menyaksikan pertunjukan di kampus. Sebuah pertunjukan yang dilabeli dengan nama Festival Budaya. Suatu acara yang dibikin untuk memperingati hari ulang tahun kampus.

Sajian seperti ini, sebenarnya adalah sajian yang sudah beberapa kali saya nikmati di beberapa tahun sebelumnya. Semenjak menginjak kaki di Fakultas Ilmu Budaya dan resmi mengenakan jas almamater Universitas Mulawarman, sudah terhitung kira-kira empat kali saya menikmati sajian yang sama di tahun 2014, 2015, 2016 dan yang terbaru di tahun ini.

Namun acara serupa di tahun ini, menurut saya cukup berbeda (selain dari nama yang berubah dan rangkaian acaranya yang lebih panjang).

Saya masih ingat betul bagaimana malam budaya (sebelum namanya diganti menjadi festival budaya di tahun ini) pertama saya. Kala itu, saya masih menjadi anggota teater kampus. Bersama Herman, Nying-Nying (Febi), Deka, dan alm. Ardiyani. Kami berada di atas panggung untuk memperkenalkan teater yang baru kami rintis.

Kami diarahkan oleh Wawan sebagai sutradara (sekaligus pembina dan pemimpin teater kala itu). Saya masih bisa ingat bagaimana atmosfer pengalaman pertama sebagai penampil dengan label (aktor). Walaupun ini juga bukan pengalaman pertama saya naik panggung, bolak-balik saya berdiri di atas panggung sendirian, melawak sebisanya sebagai seorang Stand Up Comedian (Walaupun lebih sering gagal ketimbang lucunya). Tapi beda, ini akting, dan bekerja sama.

Tepat 3 tahun setelah itu. Saya sudah bukan lagi anggota atau bagian dari teater kampus saat ini. Beberapa pertimbangan membuat saya harus mengakhiri perjuangan dan masa saya di teater.

Tepat di Festival Budaya tahun ini, sebelum masuk ke dalam gedung pertunjukkan, saya kembali menikmati sajian dari teman-teman teater kampus. Di halaman gedung pertunjukkan malam itu, telah ter-setting berbagai macam perlengkapan dan properti teater.

Acara malam itu dibuka oleh pertunjukkan dari mereka. Pertunjukkan teater yang jelas lebih baik dari 3 tahun sebelumnya, ketika kami baru merintisnya di awal. Saya tersenyum. Saya senang melihat generasi baru mereka. Saya senang melihat semangat baru mereka.

Walaupun saya masih bisa melihat yang se-generasi dengan saya ikut berbaur dengan mereka, tampil malam itu. Tapi, jelas mereka telah menjadi lebih baik saat ini, dan tentunya lebih mantap. Bukankah itu kabar baik? Bukankah bertambah banyaknya waktu yang kita lewati, harus membuat kita menjadi lebih baik? Maka, sebagai penikmat mereka malam itu, saya hanya bisa memberikan mereka tepuk tangan (sebagai rasa bangga, sebagai rasa syukur, sebagai rasa terima kasih, dan tentu saja sebagai rasa hormat). Mereka, bukan kami yang dulu, mereka adalah generasi mereka saat ini. Mereka adalah mereka. Mereka hebat.

Setelah penyajian teater, kami disuguhkan oleh sajian musik sampek. Kami menikmati beberapa menit kami dengan alunan-alunan indah. Pemain sampek di pembuka malam itu masih satu generasi dengan saya. Wajahnya, tentu saja tidak asing. Tapi saya rasa inilah konsepnya. Tetap memberikan tempat bagi yang tua, tapi tidak meluputkan untuk memberi ruang lebar bagi yang muda. -Maksudnya? Lanjutlah membaca.

Kami masuk setelah sajian sampek. Pintu pertunjukkan dibuka dengan ditemani oleh dua orang yang membawa obor. Berteatrikal mereka, menggiring kami seolah-olah tamu kerajaan zaman dulu. Kami masuk. Kami mencari tempat duduk. Lalu acara inti dimulai.

Saat inilah saya mulai tersentak. Tersentak oleh para penampil malam itu.

Saya masih ingat. Bagaimana dua tahun lalu, rasanya, tidak sulit untuk dapat mengenali semua penampil yang mengisi acara malam itu. Seolah, yang tampil adalah kawan-kawan yang sering saya temui setiap hari. Kawan-kawan yang sering saya sapa, atau setidaknya saya lempari senyum. Sangat jauh dengan Festival Budaya tahun ini. Saya merasa asing. Seakan-akan, saya seperti bukan lagi bagian dari FIB saat ini. Saya melihat talenta-talenta seniman baru. Bahkan, mereka mungkin lebih hebat dari generasi kami. Tentu, ini adalah sebuah kabar baik, tapi juga menjadi kabar buruk, khususnya untuk generasi kami atau mungkin saya pribadi.

Setelah Festival Budaya malam itu. Inilah waktu yang tepat untuk saya merenung.

Saya rasa, generasi sudah berganti. Waktu membuat pergeseran-pergeseran yang kejam. Posisi-posisi telah digantikan. Tapi saya? Mungkin bisa dibilang belum berbuat apa-apa.

Setelah pulang, di rumah malam itu, saya bertanya dengan begitu banyak pertanyaan. Saya berhenti pada kesimpulan bahwa ternyata, saya masih belum melakukan apa-apa bagi FIB. Saya masih belum memberikan kesan untuk kampus. Padahal, waktu telah nyaris mengusir saya dari tempat ini.

Mungkin memang, saya tidak bisa menjadi pemain teater yang baik. Saya tidak bisa disiplin seperti kawan-kawan saya. Saya juga bukan pemain musik yang bagus, karena bukan itu juga disiplin ilmu saya. Saya ada di ruang lingkup sastra. Walaupun tidak disiapkan untuk menjadi penulis, tapi saya tau, hanya dari situlah, mungkin saya bisa meninggalkan kesan untuk FIB. Setidaknya, bisa membuat saya ada, sebelum akhirnya saya benar-benar tiada.

Menulis membuat saya merasa masih bisa bertahan di antara generasi-generasi baru saat ini. Tapi saya juga sadar, jika saya tidak berusaha menjadi lebih baik lagi, mungkin beberapa waktu yang akan datang, pasti akan ada yang mampu menggeser saya. Saya percaya, pasti akan ada penulis-penulis yang lebih baik lagi, lahir di FIB. Mereka hadir, tentu saja untuk menjadi pesaing-pesaing dan meramaikan dunia kepenulisan. Mereka yang baru, jelas lebih fresh, ilmunya lebih banyak, dan mungkin pesona menulisnya lebih bersahabat. Pasti saya akan lebih cepat K.O di ring pertarungan.

Lalu yang bisa saya lakukan untuk bertahan? Tentu saja menjaga agar tetap bisa berjalan seperti mereka. Saya harus konsistens, saya harus menunjukkan kalau saya tidak menua dalam semangat, meski mungkin, pelan-pelan saya akan kehabisan energi, akan kehabisan nafas, akan kehabisan umur.

Saya harus lekas menyadari dan mencari jalan keluar. Mungkin tidak banyak pintu yang terbuka untuk menerima saya. Tapi itu juga yang seharusnya malah membuat saya semangat untuk dapat membuka pintu alternatif atau mungkin menciptakan pintu sendiri. Saya harus bisa bertahan dengan cara-cara yang mungkin agak rumit. Tapi, hanya dengan cara seperti itulah saya bisa tetap sepadan dengan mereka para generasi yang lebih baru.

Saya tahu, pelan-pelan saya akan melemah. Tapi sebelum saat itu datang, saya harus tetap dapat melakukan yang terbaik. Tentu, ini tidak akan bisa saya lakukan sendirian, saya butuh teman-teman saya. Saya butuh kalian para pembaca sebagai pendukung karya-karya yang akan atau sudah saya buat. Bagaimanapun, saya tidak akan bertahan tanpa dukungan. Saya tidak akan bertahan tanpa apresiasi karya dari kawan-kawan pembaca. Saya tidak akan bertahan tanpa ada yang mengomentari karya saya, memberikan masukan agar saya tetap dapat dan terus menjaga kualitas berkarya.

Saya tahu. Hidup tidak akan pernah dapat dijalankan sendirian.

Tanpa anda teman-teman saya yang terus mengapresiasi karya di mana pun kalian berada, saya tidak akan pernah jadi siapa-siapa, saya tidak akan pernah bisa terus ada.

Kepada seluruh pembaca yang terus men-support karya-karya saya. Terima kasih, satu salam sejuk dari saya. Kita adalah Generasi #PantangKalah [][]


BTW, saya akan ngeluarin karya terbaru yang judulnya Demam di Kota Zeyn. Buku ini adalah buku kumpulan cerpen. Untuk informasi lebih lanjut mari cek....

IG: @pandu_panpan atau @pandu_karya
Fanpage FB: @Pandu_Karya