Pages

Labels

Monday, 4 January 2016

Pecinta Hujan




Aku ingin pergi keluar rumah, dan mencoba untuk memeluk rintikan hujan-hujan itu. Aku ingin bersama mereka, karena aku tau mereka adalah kawan-kawan setiaku.

Aku hanya bisa menatap manis dinding rumah ku siang ini. Di atas kasur, ku coba dengar rintikan hujan itu mengetok-ngetok atap rumah ku, suaranya masih jelas, karena rumah ku bukan beton, hanya kayu sederhana.

Hujan itu seolah mengucap salam, dan memanggil-manggil namaku, mengajak bermain diluar sana, “HUJAN!!!”

Aku tau, dulu aku tidak pernah secinta ini pada hujan. Setiap kali hujan turun dan membasahi seluruh kota Samarinda, aku mencoba memaki dan meminggirkan motorku. Berteduh di bawah halte yang dinding-dinginnya telah penuh coretan grafiti orang-orang yang mengatas namakan diri mereka dengan nama seniman jalan. Aku menunggu sampai hujan kembali ditarik oleh Yang Maha Kuasa, dan aku kembali menuju tempat tujuan ku.

Aku tak pernah secinta ini pada hujan. Bahkan aku selalu benci, karena setiap kali hujan, aku akan selalu dihantui oleh banjir di Jalan Pangeran Antasari. Mencoba mengangkat kedua kaki ku ke atas body motor Jupite Z hijau, dan berakrobat seolah aku seekor kucing yang sangat tidak suka pada air.

Aku bahkan tidak pernah secinta dan sesayang ini pada hujan, karena hujan selalu berhasil membahasi seluruh buku pelajaran ku ketika SMA. Selalu berhasil membasahi celana abu-abu ku yang besok, masih harus aku pakai lagi. Serta hujan selalu berhasil membuatku esok harinya berangkat dengan sendal jepit, karena sepatuku ikut-ikutan belum kering.

Aku tak pernah secinta ini pada hujan.

Tapi, semua perasaan benci ini berubah secara cepat. Seolah dapat memutar balikkan fakta bahwa Menara Eiffel itu sesungguhnya ada di Samarinda, bukan di Paris. Perasaanku sungguh aneh dan sungguh tidak karuan.

Aku paham, wajahku tidak terlalu tampan, namun juga tidak terlalu jelek. Itupula yang membuatku tidak memiliki aura yang jelas, dan mungkin itu juga yang membuat aku selalu dijauhi oleh wanita-wantia yang berusaha kudekati.

Menjadi bahan tolakaan banyak wanita, sungguh tidak jadi masalah. Namun, tidak untuk dia.

Vilta berhasil mengubah segalanya. Mengubah pandangan bahwa cinta itu kadang datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi tanpa mencoba untuk memberikan kata terima kasih.

Vilta hadir begitu cepat. Dia mulai memasuki jiwaku, dan seolah berkata bahwa dia wanita yang kucari selama ini. Vilta menjadi sosok wanita baik, yang mencoba membuka pintu hati dan pelan-pelan menempelkan bibirnya ke daun telingaku sambil berkata “Ayolah, aku siap menjadi teman hidupmu”, namun jelas, itu hanya perkiraanku.

Vilta hadir dengan beribu sandi yang harus ku pecahkan. Sandi-sandi yang berusaha meyakinkanku, bahwa benar Vilta berkata “Ayolah, aku siap menjadi teman hidupmu”.

Malam itu, aku siap dengan pakaian terbaikku. Parfume mahal, pomade rambut, serta deodorant anti bau yang semuanya ku dapat dari hasil minjam teman kampus, siap mendatangi Vilta di rumahnya.

Aku tak sabar ingin tau wajah Vilta yang sangat kagum dengan perjuangan ku malam ini. Apalagi bunga merah nan merona yang ku bawa, aku tak sabar ingin mendengar pujiannya yang mengatakan aku adalah satu-satunya pria romantis yang selama ini dia temui.

Namun kejam rasanya, ketika ku tahu bahwa Vilta di depan rumah, telah berpeluk dan bercumbu mesra sembari menunggu waktu yang tepat, untuk mereka menikmati malam minggu hari ini.

Aku tak tahu, apakah Vilta yang selama ini ku anggap menyayangi ku dan menganggap ku lebih dari sekedar teman, ternyata telah memiliki kekasih dan melakukan hal seromantis itu didepanku, yang sedari tadi tidak berani menampakkan diri, karena malu telah salah mengartikan sandi-sandi ini.

Aku hanya duduk di taman sepi dekat rumah Vilta, membiarkan motorku di parkiran kos teman satu kampus yang kebetulan dekat rumah Vilta.

Aku berjalan kaki, dan membuang semua bunga sialan di tanganku ke tong sampah. Aku benci sandi-sandi itu, aku benci mengartikannya.

Sampai entah sudah jam berapa, aku duduk di taman ini sendiri, ketika tadinya masih banyak orang, dan sekarang tinggal aku sendiri, tanpa teman tanpa orang yang ku sayang.

Aku merasa tidak punya siapa-siapa yang mau mendengarkanku, sampai hujan datang dengan iklas, dan mau memelukku dengan hangat di taman malam ini.

Hujan dengan sedia mendengarkan seluruh ocehanku, seluruh kekesalan ku, dan seluruh makian ku. Ku tahu hujan malam itu mulai menepuk-nepuk pundakku sembari berkata “Kau yang sabar”.

Aku mulai tau, hujan tak sejahat itu. Hujan mau mendengarkanku, dan hujan mau menjadi teman bicaraku. Hujan lebih paham dari siapapun saat ini, aku sangat cinta pada hujan, dan sangat merindukannya ketika lama tidak datang menyapaku.

Aku sangat merindukan hujan.

Ketika hujan turun aku sedia kala mendatangi dia dimanapun.

Dikala aku makan dan hujan turun, aku siap meninggalkan paha ayam serta nasi hangat diatas piring, demi mendatangi hujan di luar rumah, menyapa dan bertegur sapa dengan mereka.

Aku siap berjam-jam menemani mereka dikala turun, mendengarkan keluhan mereka, dan mereka pun sebaliknya, sampai mereka berpamitan dan pergi untuk waktu yang lama.

Aku berjanji akan terus mendatangi mereka, dimanapun mereka berada.
Aku akan siap berlari, dikala mereka datang saat aku sedang asik beribadah. Aku akan siap berlari mendatangi mereka, meski aku sedang sedang asik tidur di tengah malam.

Bahkan aku tidak akan pernah peduli omelan dosen ketika aku keluar di jam pelajarannya hanya karena kawan-kawanku turun dari langit.

Hujan sangat baik, bahkan lebih baik dari orang-orang yang ku kenal, khususnya Vilta.

Tapi hari ini, aku sudah tidak bisa menyapa hujan lagi, aku hanya bisa mendengarkannya dari dalam sini, aku tidak bisa memeluk mereka lagi seperti dulu.

Sampai pintu kamarku terbuka, dan masuklah seorang ibu tua sembari membawakan sepiring nasi putih dengan sayur bening dan gorengan telur dadar ke hadapan ku.

“Ayok makan dulu”, ujarnya, dengan balasanku yang tidak mau menatap mata ibu-ibu itu.

“Ayok.... Mamak udah masak makanan kesukaan kamu loh, kamu harus makan, ayok makan nak”, paksanya dengan halus, kepadaku yang masih tidak mau merubah sikapku pada ibu-ibu tua itu.

“Mamak ngak tau, apa yang mengakibatkan kamu jadi seperti ini, tapi yang mamak tau, mamak akan selalu sayang sama kamu, mau bagaimana pun kamu nantinya”, lalu wanita itu mennanggalkan piring berisi makanan di dalamnya, dan pergi dari kamarku, meninggalkan aku sendiri di dalam kamar, bersama dengan rantai-rantai yang mengikat kedua kaki serta tanganku di atas kasur.

Twitter : @pandupandaa
Instagram : Pandupandaa

3 comments:

  1. Menjadi gila karena gila hujan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, thanks geng, udah mau berkunjung selalu ke duniakelambu :)

      Delete
  2. Hujan itu...petrichornya yang bikin nagih hehehe

    ReplyDelete