Aku
ingin pergi keluar rumah, dan mencoba untuk memeluk rintikan hujan-hujan itu. Aku
ingin bersama mereka, karena aku tau mereka adalah kawan-kawan setiaku.
Aku
hanya bisa menatap manis dinding rumah ku siang ini. Di atas kasur, ku coba
dengar rintikan hujan itu mengetok-ngetok atap rumah ku, suaranya masih jelas,
karena rumah ku bukan beton, hanya kayu sederhana.
Hujan
itu seolah mengucap salam, dan memanggil-manggil namaku, mengajak bermain
diluar sana, “HUJAN!!!”
Aku
tau, dulu aku tidak pernah secinta ini pada hujan. Setiap kali hujan turun dan
membasahi seluruh kota Samarinda, aku mencoba memaki dan meminggirkan motorku.
Berteduh di bawah halte yang dinding-dinginnya telah penuh coretan grafiti
orang-orang yang mengatas namakan diri mereka dengan nama seniman jalan. Aku
menunggu sampai hujan kembali ditarik oleh Yang Maha Kuasa, dan aku kembali
menuju tempat tujuan ku.
Aku
tak pernah secinta ini pada hujan. Bahkan aku selalu benci, karena setiap kali
hujan, aku akan selalu dihantui oleh banjir di Jalan Pangeran Antasari. Mencoba
mengangkat kedua kaki ku ke atas body motor Jupite Z hijau, dan berakrobat
seolah aku seekor kucing yang sangat tidak suka pada air.
Aku
bahkan tidak pernah secinta dan sesayang ini pada hujan, karena hujan selalu
berhasil membahasi seluruh buku pelajaran ku ketika SMA. Selalu berhasil
membasahi celana abu-abu ku yang besok, masih harus aku pakai lagi. Serta hujan
selalu berhasil membuatku esok harinya berangkat dengan sendal jepit, karena
sepatuku ikut-ikutan belum kering.
Aku
tak pernah secinta ini pada hujan.
Tapi,
semua perasaan benci ini berubah secara cepat. Seolah dapat memutar balikkan
fakta bahwa Menara Eiffel itu sesungguhnya ada di Samarinda, bukan di Paris.
Perasaanku sungguh aneh dan sungguh tidak karuan.
Aku
paham, wajahku tidak terlalu tampan, namun juga tidak terlalu jelek. Itupula
yang membuatku tidak memiliki aura yang jelas, dan mungkin itu juga yang
membuat aku selalu dijauhi oleh wanita-wantia yang berusaha kudekati.
Menjadi
bahan tolakaan banyak wanita, sungguh tidak jadi masalah. Namun, tidak untuk
dia.
Vilta
berhasil mengubah segalanya. Mengubah pandangan bahwa cinta itu kadang datang
hanya untuk mempermainkan, lalu pergi tanpa mencoba untuk memberikan kata
terima kasih.
Vilta
hadir begitu cepat. Dia mulai memasuki jiwaku, dan seolah berkata bahwa dia
wanita yang kucari selama ini. Vilta menjadi sosok wanita baik, yang mencoba
membuka pintu hati dan pelan-pelan menempelkan bibirnya ke daun telingaku
sambil berkata “Ayolah, aku siap menjadi teman hidupmu”, namun jelas, itu hanya
perkiraanku.
Vilta
hadir dengan beribu sandi yang harus ku pecahkan. Sandi-sandi yang berusaha
meyakinkanku, bahwa benar Vilta berkata “Ayolah, aku siap menjadi teman
hidupmu”.
Malam
itu, aku siap dengan pakaian terbaikku. Parfume mahal, pomade rambut, serta
deodorant anti bau yang semuanya ku dapat dari hasil minjam teman kampus, siap
mendatangi Vilta di rumahnya.
Aku
tak sabar ingin tau wajah Vilta yang sangat kagum dengan perjuangan ku malam
ini. Apalagi bunga merah nan merona yang ku bawa, aku tak sabar ingin mendengar
pujiannya yang mengatakan aku adalah satu-satunya pria romantis yang selama ini
dia temui.
Namun
kejam rasanya, ketika ku tahu bahwa Vilta di depan rumah, telah berpeluk dan
bercumbu mesra sembari menunggu waktu yang tepat, untuk mereka menikmati malam
minggu hari ini.
Aku
tak tahu, apakah Vilta yang selama ini ku anggap menyayangi ku dan menganggap
ku lebih dari sekedar teman, ternyata telah memiliki kekasih dan melakukan hal
seromantis itu didepanku, yang sedari tadi tidak berani menampakkan diri,
karena malu telah salah mengartikan sandi-sandi ini.
Aku
hanya duduk di taman sepi dekat rumah Vilta, membiarkan motorku di parkiran kos
teman satu kampus yang kebetulan dekat rumah Vilta.
Aku
berjalan kaki, dan membuang semua bunga sialan di tanganku ke tong sampah. Aku
benci sandi-sandi itu, aku benci mengartikannya.
Sampai
entah sudah jam berapa, aku duduk di taman ini sendiri, ketika tadinya masih
banyak orang, dan sekarang tinggal aku sendiri, tanpa teman tanpa orang yang ku
sayang.
Aku
merasa tidak punya siapa-siapa yang mau mendengarkanku, sampai hujan datang
dengan iklas, dan mau memelukku dengan hangat di taman malam ini.
Hujan
dengan sedia mendengarkan seluruh ocehanku, seluruh kekesalan ku, dan seluruh
makian ku. Ku tahu hujan malam itu mulai menepuk-nepuk pundakku sembari berkata
“Kau yang sabar”.
Aku
mulai tau, hujan tak sejahat itu. Hujan mau mendengarkanku, dan hujan mau
menjadi teman bicaraku. Hujan lebih paham dari siapapun saat ini, aku sangat
cinta pada hujan, dan sangat merindukannya ketika lama tidak datang menyapaku.
Aku
sangat merindukan hujan.
Ketika
hujan turun aku sedia kala mendatangi dia dimanapun.
Dikala
aku makan dan hujan turun, aku siap meninggalkan paha ayam serta nasi hangat
diatas piring, demi mendatangi hujan di luar rumah, menyapa dan bertegur sapa
dengan mereka.
Aku
siap berjam-jam menemani mereka dikala turun, mendengarkan keluhan mereka, dan
mereka pun sebaliknya, sampai mereka berpamitan dan pergi untuk waktu yang
lama.
Aku
berjanji akan terus mendatangi mereka, dimanapun mereka berada.
Aku akan siap berlari,
dikala mereka datang saat aku sedang asik beribadah. Aku akan siap berlari
mendatangi mereka, meski aku sedang sedang asik tidur di tengah malam.
Bahkan
aku tidak akan pernah peduli omelan dosen ketika aku keluar di jam pelajarannya
hanya karena kawan-kawanku turun dari langit.
Hujan
sangat baik, bahkan lebih baik dari orang-orang yang ku kenal, khususnya Vilta.
Tapi
hari ini, aku sudah tidak bisa menyapa hujan lagi, aku hanya bisa
mendengarkannya dari dalam sini, aku tidak bisa memeluk mereka lagi seperti
dulu.
Sampai
pintu kamarku terbuka, dan masuklah seorang ibu tua sembari membawakan sepiring
nasi putih dengan sayur bening dan gorengan telur dadar ke hadapan ku.
“Ayok
makan dulu”, ujarnya, dengan balasanku yang tidak mau menatap mata ibu-ibu itu.
“Ayok....
Mamak udah masak makanan kesukaan kamu loh, kamu harus makan, ayok makan nak”,
paksanya dengan halus, kepadaku yang masih tidak mau merubah sikapku pada
ibu-ibu tua itu.
“Mamak
ngak tau, apa yang mengakibatkan kamu jadi seperti ini, tapi yang mamak tau,
mamak akan selalu sayang sama kamu, mau bagaimana pun kamu nantinya”, lalu
wanita itu mennanggalkan piring berisi makanan di dalamnya, dan pergi dari
kamarku, meninggalkan aku sendiri di dalam kamar, bersama dengan rantai-rantai
yang mengikat kedua kaki serta tanganku di atas kasur.
Twitter : @pandupandaa
Instagram : Pandupandaa
Menjadi gila karena gila hujan..
ReplyDeleteHehehe, thanks geng, udah mau berkunjung selalu ke duniakelambu :)
DeleteHujan itu...petrichornya yang bikin nagih hehehe
ReplyDelete