Pages

Labels

Monday, 27 March 2017

WARNET: KISAH DULU YANG KINI TELAH MENJADI CERITA









Anak kecil itu baru saja turun dari motor. Ia menyalami tanganku dan lekas masuk ke area sekolah dasar yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami tinggal. Temannya telah menyambutnya di depan pagar sekolah, mereka bergandengan dan menuju kelas bersama. Begitu manis memang persahabatan anak-anak seperti adikku yang baru kelas dua sekolah dasar itu.

Melihat semua sudah aman, kembali aku melanjutkan perjalanan untuk kuliah. Bersama motor bebek hijau yang sudah lama tidak dimandikan, aku menuju kampus dengan santai. Perjalanan dari rumah menuju kampus kira-kira membutuhkan waktu 45 menit. Sedangkan jam mata kuliah hari itu, mulainya masih lama. Sungguh tidak berdosa bila aku tak terburu-buru mengendarai motor untuk dapat sampai tepat waktu.

Sekolah Dasar tempat adikku menuntut ilmu itu, sebenarnya berlokasi di jalan yang ketika aku SMP dulu, sering kali aku lalui. Jalan yang sering aku gunakan untuk pergi menuju ke sebuah warnet tempatku bermain game atau sekedar browsing dan buka facebook untuk pasang status-status aneh yang menjijikan. Di jaman itu, facebook masih hangat-hangatnya. Pasang status pun tak semudah saat ini. Kalau sekarang, ketika merasakan perasaan galau atau lain sebagainya, maka saat itu pula kita bisa langsung meluapkannya melalui status yang bisa dipasang melalui smartphone. Sedangkan saat itu, semua serba delay. Galaunya hari senin, pasang statusnya hari minggu. Semua bergantung kapan punya waktu untuk bisa izin pergi ke warnet sama emak, dan kapan juga punya uang 3000-4000an untuk bayar warnet per-jamnya.

Pagi ini, aku kembali menyusuri jalan yang sering kupakai saat SMP dulu. Kulalui semuanya dengan pelan-pelan. Bedanya, saat itu berjalan kaki, hari ini pakai motor. Mau selambat apapun juga, tak akan sepelan saat berjalan kaki dulu.

Kanan-kiri, semua telah berubah. Telah banyak rumah-rumah. Tidak seperti dulu, lahan-lahan kosong, baik yang sudah dihampar tanah merah atau yang masih rawa-rawa, sepertinya telah tiada. Sekarang, nyaris tak ada tanah yang kosong. Semua tempat telah dibanguni rumah-rumah.

Hamparan rawa-rawa tanah kosong yang dipenuhi selain rumput, tapi juga daun talas yang lumayan banyak, sepertinya juga turut jadi korban pertumbuhan jaman. Masih teringat di ingatan saat itu. Tepat di samping rawa-rawa, terbangun bangsalan yang jalanannya bisa nembus dari satu gang ke gang lain. Jaman dulu, jalanan tembus itulah yang jadi penolongku dan kawanku untuk bisa sampai di warnet dengan waktu yang lebih singkat. Kami harus melewati tempat itu agar tidak kalah cepat dengan anak-anak lainnya yang juga sedang getol-getolnya main game di warnet dan biasanya memenuhi seluruh unit komputer terlebih dulu ketimbang kami.

Sekarang, tempat penuh daun talas itu telah jadi alas rumah beton dengan gaya minimalis, mirip produk-produk perumahan yang kalau hari senin harganya naik. Rumah gandeng warna putih dengan beberapa aksen warna merah berdiri kokoh di sebuah rawa-rawa yang sempat jadi saksi obrolan keseruan game yang baru aku dan temanku mainkan. Pagar besi anti karatnya yang berwarna hitam dengan halaman yang cukup untuk menaruh satu buah city car di dalamnya telah menutup banyak kenangan anak-anak. Lenyap sudah tanah kosong itu. Walaupun, bangsalan dengan jalan tembusannya itu masih berdiri jantan dengan tidak ada perubahan kecuali mungkin para penghuninya.

Sebuah warung sederhana penjual sembako di sisi kiri jalan juga masih terbangun dengan sama. Bedanya, sisi kanan dan kiri rumah yang berjualan sembako itu sekarang telah dibanguni oleh rumah-rumah. Aku mulai mengingat-ingat, kapan otak ini mulai menyadari bahwa kecanduan game online dan sering menghabiskan waktu di warnet saat itu adalah hal yang sia-sia? Lebih-kurang, sekitar kelas dua SMP. Mulai sejak itu, aku mengurangi porsi bermain game di warnet, sampai akhirnya ketika SMK, semua benar-benar kutinggalkan. Semua yang berkaitan dengan fire in the hole, headshot, double kill ataupun chain killer. (BTW – Cuma anak warnet yang ngerti itu apa.)

Aku berbelok di sebuah jalan yang meliuk bagai ular. Jalan ular ini adalah ciri khas gang ini. Belokan ke kiri sekali dan kanan sekali, maka hawa-hawa warnet itu pun akan datang. Dulu, ketika sudah melewati belokan ini. Itu artinya, aku telah siap untuk membuka pemberitahuan facebook ataupun lekas-lekas login untuk kembali melempar-lempar bom dalam sebuah clan war. (Anak warnet di tahun 2008-2010an pasti tau game apa yang sedang kita bicarakan ini.)

Pagi ini, aku merasakan antusias itu lagi. Mengingat-ingat apa yang telah lama terlupakan. Aku membayangkan game-game yang pernah kumainkan. Aku membayangkan bagaimana bahagianya ketika seminggu tidak membuka facebook dan kemudian membukanya lagi sembari dengan gugup melihat beberapa orang yang menyukai dan juga mengomentari status yang telah seminggu lalu kubuat. Ya…., perasaan itu kembali.

Dengan berjalan kaki, seharusnya warnet itu tidaklah jauh dari belokan kanan. Benar. Aku melihat bangunan warnet itu. Bangunan yang sudah kehilangan pagar rumah. Warnet itu juga sudah kehilangan penghuninya. Komputer-komputer di dalamnya pun tentu saja sudah tidak ada. Tanaman rambat liar pun telah naik hingga ke atap dinding bangunan luar. Kalau ada penggambaran rumah kosong dalam film-film horror, ya mungkin warnet itu saat ini adalah copy-paste style-nya gaya-gaya rumah berhantu. Kebetulan sekali. Pagi ini, ada beberapa orang yang membawa palu dan gergaji yang sepertinya akan merenovasi tempat itu. Aku beruntung, masih bisa melihat kondisi warnet itu sebelum berubah total. Mungkin saja besok, lusa atau kapan saja, bangunan itu akan rubuh dan tergantikan oleh bentuk-bentuk lainnya.

Setelah melewati warnet itu, aku kembali fokus bermotor untuk pergi menuju kampus.

Waaa…

Perubahan begitu cepat. Bahkan sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana ramainya warnet itu. Bagaimana ekspresi wajah sang pemilik saat tahu warnetnya dipenuhi oleh anak-anak yang tergila-gila pada internet dan game-game online, yang artinya semua itu adalah ladang uang untuknya. Masih teringat di kepalaku bagaimana warnet itu berkembang dari hanya memiliki 5 unit komputer dan kemudian bertambah 10 unit dan kemudian 15 unit lagi. Bagaimana jam operasi warnet itu yang tadinya hanya buka sampai jam 11 malam, lalu dibuka selama 24 jam non-stop. Warnet itu memasuki masa jayanya hingga akhirnya kalah bersaing dengan warnet-warnet yang baru, fresh dan berani memberikan harga sewa yang lebih murah.

Semua berubah.

Kita pun demikian. Jalanan yang kulewati pagi ini buktinya. Bangunan-bangunan yang kulihat pagi ini buktinya. Warnet yang telah bangkrut  ini buktinya. Semua berubah seiring berjalannya waktu. Kita sendiri bahkan tidak pernah tahu kapan perubahan itu akan datang. Tugas kita adalah mempersiapkan diri atas segala sesuatu. Tak selamanya yang di atas akan terus di atas dan juga yang di bawah akan tetap terus di bawah. Semua bisa saja berubah kapanpun.

Kita tidak punya kuasa untuk menahan apapun. Maka berusaha adalah harga mati untuk bisa tetap hidup dan bertahan.
  

Selesai-