Tepat tanggal 28 Oktober 2017 yang lalu, saya
menikmati malam minggu yang berfaedah dengan
menyaksikan pertunjukan di kampus. Sebuah pertunjukan yang dilabeli dengan nama
Festival Budaya. Suatu acara yang dibikin untuk memperingati hari ulang tahun
kampus.
Sajian seperti ini, sebenarnya adalah
sajian yang sudah beberapa kali saya nikmati di beberapa tahun sebelumnya. Semenjak
menginjak kaki di Fakultas Ilmu Budaya
dan resmi mengenakan jas almamater Universitas
Mulawarman, sudah terhitung kira-kira empat kali
saya menikmati sajian yang sama di tahun 2014, 2015, 2016 dan yang terbaru di
tahun ini.
Namun acara serupa di
tahun ini, menurut saya cukup berbeda (selain dari nama yang berubah dan
rangkaian acaranya yang lebih panjang).
Saya masih ingat
betul bagaimana malam budaya (sebelum namanya diganti menjadi festival budaya di tahun ini) pertama
saya. Kala itu, saya masih menjadi
anggota teater kampus. Bersama Herman,
Nying-Nying (Febi), Deka, dan alm. Ardiyani. Kami berada
di atas panggung untuk memperkenalkan
teater yang baru kami rintis.
Kami
diarahkan oleh Wawan sebagai sutradara
(sekaligus pembina dan pemimpin teater kala itu).
Saya masih bisa ingat bagaimana atmosfer pengalaman pertama sebagai penampil dengan label (aktor). Walaupun ini juga bukan
pengalaman pertama saya naik panggung, bolak-balik saya berdiri di atas panggung
sendirian, melawak sebisanya sebagai seorang Stand Up Comedian (Walaupun lebih
sering gagal ketimbang lucunya). Tapi beda, ini akting, dan bekerja sama.
Tepat 3 tahun setelah itu. Saya sudah bukan lagi anggota atau bagian dari teater kampus saat ini. Beberapa pertimbangan
membuat saya harus mengakhiri perjuangan dan masa saya
di teater.
Tepat di Festival
Budaya tahun ini, sebelum
masuk ke dalam gedung pertunjukkan, saya kembali menikmati sajian dari teman-teman teater
kampus. Di halaman gedung pertunjukkan
malam itu, telah ter-setting berbagai macam perlengkapan dan properti teater.
Acara malam itu dibuka oleh pertunjukkan
dari mereka. Pertunjukkan teater yang jelas lebih baik dari 3 tahun sebelumnya, ketika kami baru merintisnya di awal. Saya tersenyum.
Saya senang melihat generasi baru mereka. Saya senang melihat
semangat baru mereka.
Walaupun saya masih bisa melihat yang
se-generasi dengan saya ikut berbaur dengan mereka, tampil malam itu. Tapi,
jelas mereka telah menjadi lebih baik saat ini, dan tentunya lebih mantap.
Bukankah itu kabar baik?
Bukankah bertambah banyaknya waktu yang kita
lewati, harus membuat kita menjadi lebih baik? Maka, sebagai penikmat mereka malam
itu, saya hanya bisa memberikan mereka tepuk
tangan (sebagai rasa bangga, sebagai rasa syukur, sebagai rasa terima kasih, dan tentu saja sebagai rasa
hormat).
Mereka, bukan kami yang dulu, mereka
adalah generasi mereka saat ini. Mereka adalah mereka. Mereka hebat.
Setelah penyajian teater, kami disuguhkan oleh sajian musik sampek. Kami menikmati beberapa menit kami dengan alunan-alunan
indah. Pemain sampek di pembuka malam itu masih satu generasi dengan saya.
Wajahnya, tentu saja tidak asing. Tapi saya rasa inilah konsepnya. Tetap
memberikan tempat bagi yang tua, tapi tidak meluputkan untuk memberi ruang
lebar bagi yang muda. -Maksudnya? Lanjutlah membaca.
Kami masuk setelah sajian sampek. Pintu pertunjukkan dibuka
dengan ditemani oleh dua orang yang membawa obor. Berteatrikal mereka, menggiring kami seolah-olah tamu kerajaan zaman
dulu. Kami masuk. Kami mencari tempat
duduk. Lalu acara inti dimulai.
Saat inilah saya mulai tersentak.
Tersentak oleh para penampil malam itu.
Saya masih ingat.
Bagaimana dua tahun lalu, rasanya, tidak sulit untuk dapat mengenali
semua penampil yang mengisi
acara malam itu. Seolah, yang tampil adalah
kawan-kawan yang sering saya temui setiap hari. Kawan-kawan yang sering saya
sapa, atau setidaknya saya lempari senyum. Sangat
jauh dengan Festival Budaya tahun ini. Saya merasa asing. Seakan-akan, saya seperti
bukan lagi bagian dari FIB saat ini. Saya melihat talenta-talenta seniman baru.
Bahkan, mereka mungkin lebih hebat dari generasi kami. Tentu, ini adalah sebuah kabar baik, tapi juga menjadi
kabar buruk, khususnya untuk generasi kami atau mungkin saya pribadi.
Setelah Festival Budaya malam itu. Inilah
waktu yang tepat untuk saya merenung.
Saya rasa, generasi sudah berganti. Waktu membuat pergeseran-pergeseran yang kejam.
Posisi-posisi telah digantikan. Tapi saya? Mungkin bisa dibilang belum berbuat
apa-apa.
Setelah pulang,
di rumah malam itu, saya bertanya dengan begitu banyak
pertanyaan. Saya berhenti pada kesimpulan bahwa
ternyata, saya masih belum melakukan apa-apa bagi FIB. Saya masih belum memberikan kesan untuk kampus. Padahal, waktu telah nyaris mengusir saya dari tempat ini.
Mungkin memang, saya tidak bisa menjadi pemain teater
yang baik. Saya tidak bisa disiplin seperti
kawan-kawan saya. Saya juga bukan
pemain musik yang bagus, karena bukan itu juga
disiplin ilmu saya. Saya ada di ruang
lingkup sastra. Walaupun tidak disiapkan untuk menjadi penulis,
tapi saya tau, hanya dari situlah, mungkin saya bisa
meninggalkan kesan untuk FIB. Setidaknya, bisa membuat saya ada, sebelum
akhirnya saya benar-benar tiada.
Menulis membuat saya merasa masih bisa bertahan di antara generasi-generasi baru saat
ini. Tapi saya juga sadar,
jika saya tidak berusaha menjadi
lebih baik lagi, mungkin
beberapa waktu yang akan datang, pasti akan ada yang mampu menggeser saya.
Saya percaya, pasti akan ada penulis-penulis yang lebih
baik lagi, lahir di FIB. Mereka
hadir, tentu saja untuk menjadi pesaing-pesaing dan meramaikan dunia
kepenulisan. Mereka yang baru, jelas
lebih fresh, ilmunya lebih banyak, dan mungkin pesona menulisnya lebih bersahabat.
Pasti saya akan lebih cepat K.O di
ring pertarungan.
Lalu yang bisa saya lakukan untuk bertahan? Tentu saja menjaga agar tetap bisa berjalan seperti
mereka. Saya harus konsistens, saya harus menunjukkan
kalau saya tidak menua dalam semangat,
meski mungkin,
pelan-pelan saya akan kehabisan energi, akan kehabisan nafas, akan kehabisan
umur.
Saya harus lekas menyadari dan mencari
jalan keluar. Mungkin tidak banyak pintu yang terbuka untuk menerima saya. Tapi itu
juga yang seharusnya malah membuat saya semangat
untuk dapat membuka pintu alternatif atau mungkin menciptakan pintu sendiri. Saya harus bisa bertahan dengan cara-cara yang mungkin
agak rumit. Tapi, hanya
dengan cara seperti itulah saya bisa tetap
sepadan dengan mereka para generasi yang
lebih baru.
Saya tahu, pelan-pelan
saya akan melemah. Tapi sebelum saat itu datang, saya harus tetap dapat melakukan yang terbaik. Tentu, ini
tidak akan bisa saya lakukan sendirian, saya butuh teman-teman saya. Saya butuh
kalian para pembaca sebagai pendukung karya-karya
yang akan atau sudah saya buat. Bagaimanapun, saya tidak akan bertahan tanpa dukungan. Saya tidak akan
bertahan tanpa apresiasi karya dari kawan-kawan pembaca.
Saya tidak akan bertahan tanpa ada yang mengomentari karya saya, memberikan
masukan agar saya tetap dapat dan terus menjaga kualitas berkarya.
Saya tahu. Hidup tidak
akan pernah dapat dijalankan sendirian.
Tanpa anda teman-teman
saya yang terus mengapresiasi karya di mana pun kalian berada,
saya tidak akan pernah jadi siapa-siapa, saya tidak
akan pernah bisa terus ada.
Kepada seluruh pembaca yang terus men-support
karya-karya saya. Terima kasih, satu salam sejuk dari saya. Kita adalah
Generasi #PantangKalah [][]
BTW,
saya akan ngeluarin karya terbaru yang judulnya Demam di Kota Zeyn.
Buku ini adalah buku kumpulan cerpen. Untuk informasi lebih lanjut mari cek....
IG:
@pandu_panpan atau @pandu_karya
Fanpage FB: @Pandu_Karya