“Kenapa kamu mencintaiku?”
Pertanyaan itu meluncur pelan
dari bibirnya. Ketika kami menghabiskan malam di taman kota, duduk di atas
sebuah kursi, berdua.
Saya kaku, binggung tak paham.
Seseorang pernah bilang kepada saya. Cinta bukan sesuatu yang harus dicari
alasannya, tapi cinta itu dijalani. Namun, saya juga tahu, asap tak mungkin tanpa
api. Begitu pun mencintainya, saya rasa pasti ada alasan. Saya mencari di
kepala, tak ketemu. Sesuatu yang dekat denganya, itulah yang saya ungkapkan.
“Karena kamu sederhana.”
Terlalu klise menurutnya. Sudah
banyak orang bilang seperti itu padanya. Saya sendiri binggung, apakah itu
alasan tepatnya? Saya yakin, kalau ia bertanya lagi hal yang sama, alasan saya,
pasti akan berubah. Tergantung yang muncul di kepala saja.
“Karena kamu cantik.”
“Karena kamu lucu.”
“Karena kamu beda.”
Semua alasan yang coba saya
kumpulkan. Saya rasa terlalu sederhana. Saya rasa bukan itu yang membuat saya
bertahan dan tidak ingin melepaskannya. Bukan itu alasan yang membuat saya
ingin selalu ada di sekitarnya. Bukan itu.
Jawaban-jawaban itu akan bisa
dipatahkannya dengan bilang, “Kalau ada yang lebih sederhana daripada aku. Kamu
bakal mencintainya dong?”
Lalu saya diam. Jawaban saya
tidak jujur. Karena saya tidak punya alasan yang tepat. Segitu yang bisa saya
pahami.
*
Saya membeli sebuah buku. Erich
Fromm dengan judul The Art of Loving. Ya, saya membeli yang bahasa Indonesia. Seni
mencintai. Saya hanya berharap dari buku itu, saya menemukan alasan kenapa saya
ingin bertahan dengannya. Kenapa saya begitu mencintainya.
Tapi nihil. Sinopsis buku itu
benar. Saya tidak akan menemukan arti cinta yang sederhana. Arti cinta yang
bisa saya pakai untuk menjawab pertanyaan singkatnya.
Satu-satunya yang bisa saya ambil
dari buku itu adalah cinta itu tumbuh dari perasaan seseorang yang selama ini
merasa teralienasi dari sekitar. Ia merasa tidak sama dengan orang-orang di
sekitar, dan ketika dia telah bertemu dengan orang yang sama, maka mereka
berdua akan masuk ke teralienasian mereka berdua dan itulah cinta.
Apakah saya salah tafsir tentang
buku itu. Tapi buku itu tidak menjawab sama sekali persoalan yang timbul. Saya
bahkan pernah bilang padanya.
“Aku enggak punya alasan untuk
menjawab kenapa aku mencintaimu. Bahkan buku yang kubeli tidak membantu.”
Kemudian dia tersenyum dan
menjawab dengan renyahnya.
“Sudah, kadang kita tidak perlu
terlalu teoritis.”
Saya rasa, permasalahan tentang alasan
mencintainya ini selesai.
*
Saya telah merasa begitu banyak
mencintai orang. Sampai akhirnya bertemu dengannya dan saya merasa tidak ingin
mencari yang lain.
Sepanjang ini, saya merasa sudah
memahami arti mencintai seseorang. Menjalani sesuatu yang disebut hubungan.
Tapi nyatanya tidak. Cinta saya belum dewasa. Ia tidak tumbuh dengan wajar dan
merasa sombong. Cinta saya sudah seperti memahami banyak hal dan hari ini ia
kenak batunya.
Sesuatu kembali mengajarkan saya
tentang cinta. Bahkan perselisihan tidak akan pernah musnah dari hubungan
cinta. Bahkan mungkin hubungan manusia.
Cinta adalah hubungan dua orang
manusia. Wajar bila rasanya ada ketidaksepahaman dan akhirnya bertengkar. Saya
rasa, perselisihan dua orang tidak akan pernah lagi terjadi, sampai akhirnya
salah satu diantaranya masuk ke liang lahat. Sepanjang itu, pertengkaran adalah
sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Tapi pertengkaran adalah sesuatu yang
harus dilewati, karena ia menguatkan.
Begitulah yang bisa saya lakukan
lewat tulisan ini dan yang bisa saya pahami untuk lebih memahami soal cinta.
Tapi, ada yang kembali terucap
olehnya sore ini. Ketika kami memutuskan untuk saling mengalah, meminta maaf
dan memaafkan. Ia berucap sesuatu.
“Kenapa kamu sampai begitunya
ingin bertahan? Kenapa kamu ingin mencintaiku? Kenapa kamu tidak menyerah?”
Beda narasi, tapi intinya sama.
Ia kembali bertanya soal alasan saya mencintainya. Sudah adakah saya jawabannya?
Saya masih belum ketemu. Saya menjawab dengan asal.
“Karena ketika bersamamu, aku
merasa tenang.”
Lantas, ia kembali memotongnya.
“Gampang pantah. Berarti kalau
ada yang lebih menenangkan, kamu bakal sama dia?”
Saya terdiam. Mencoba untuk
mencari alasan tentang mencintainya. Saya tahu tidak ingin melepasnya. Tapi
saya tidak tahu kenapa saya melakukan itu. Saya berusaha tenang dan menjawabnya.
Saya tahu.
Saya merasa sendiri selama ini. Banyak hal yang saya lakukan
sendiri di ruang kesendirian. Tapi lama, saya rasa, saya harus punya teman di
ruang sendiri saya ini. Saya tidak bisa sendirian. Harus ada teman, harus ada tempat
berbagi ruang kesendirian berdua.
Maka, bagian buku tentang pencarian cinta saya, dimulai.
Banyak orang yang saya ajak untuk berbagi ruang kesendirian, tidak ingin.
Ketika saya ingin berbagi dengannya, dia tak ingin. Tak mungkin dipaksa. Saya
mencari lagi. Bertemu banyak orang yang saya harapkan bisa berbagi ruang
dengannya. Ada yang ingin berbagi lalu pergi, tapi ada juga yang bahkan tidak
ingin sama sekali berbagi. Wajar. Namanya juga petualangan.
Lantas saya bertemu dengannya. Seseorang yang saya cintai sejak
lambaian tangan pertamanya. Lambaian yang memanggil saya untuk mendekat karena
ada tanggung jawab tugas yang harus kami selesaikan berdua. Moment itu yang
mempertemukan kita dan akhirnya memperkenalkan kita.
Sejak itu, saya tahu. Saya ingin bisa berbagi ruang dengannya.
Saya merasa menemukan diri saya dan utuh ketika berbicara dan dekat dengannya.
Perjalanan untuk memintanya berbagi ruang kesendirian bersama saya, begitu panjang.
Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk mau berbagi ruang kesendirian berdua.
Saat itu. Saya merasa perjalanan saya sudah selesai. Saya mengibaratkan
diri saya sebagai sebuah buku novel. BAB tentang pencarian cinta saya sudah
berakhir dan endingnya, saya ingin bersamanya. Saya rasa, bagian buku saya soal
cinta, sudah ingin saya akhiri.
Saya sudah ketemu. Lagi pula saya sudah letih.
Saya harus menjalani bagian buku lain dari diri saya. Tentang
cinta sudah dengannya. Sekarang tentang kehidupan. Lantas, mungkin itu alasan
saya tidak ingin melepasnya. Karena saya tahu bahwa bagian buku saya tentang
kehidupan harus saya jalani bersamanya.
Saya tidak punya alasan untuk
mencintanya. Tapi saya tahu, saya harus menjalani sisa perjalanan dengannya.
Bila ada sesuatu yang harus memisahkan sementara, saya ingin hanya nyawa. Bukan
ego, bukan ambisi, bukan cinta yang lain atau hal-hal lainnya.
Hidup terlalu berat jika
terus-terusan saya habiskan untuk BAB tentang cinta. Saya punya BAB-BAB lainnya
dalam diri saya.
Entah. Apakah itu bisa menjadi
sesuatu yang dapat dipegangnya. Tapi saya merasa tenang, ketika akhirnya ia memanggil
nama saya sore itu dengan lembut. Kemudian menarik nafas panjang dan akhirnya
meminta maaf. Kemudian ia berucap.
“Lekaslah! Aku tidak ingin hal-hal
seperti ini terjadi lagi.”
Aku tersenyum.
Aku sadar. Pikiran dan diri kami
mungkin sudah dewasa. Tapi cinta kami berdua, mungkin sedang pelan-pelan
bersama, berdua, mendewasa.
*
Jangan lelah. Jangan bosan.
Jangan menyerah.
Sama-sama bersama sama-sama.
---Malhira