Langkahku
membawaku ke kampus hari itu. Si pria yang tidak punya pengalaman organisasi
apa-apa ini akhirnya lulus juga. Tinggal urus-urusan kecil di akademik, maka sebentar
lagi wisuda tiba. Selepas dari parkiran motor, kaki melangkah menuju ruang
akademik melanjutkan urusan, namun terhenti sejenak di sebuah tiang spanduk.
Di
sana, terpampang jelas wajah sang dekan dengan almamater beserta tulisan
selamat datang bagi mahasiswa baru. “Sehat bapak.” Ujarku dalam hati.
Namun
di bawah spanduk sang dekan, terdapat spanduk dari BEM Fakultas, ucapannya hampir-hampir
mirip, tapi foto yang dipasang adalah ketua BEM dan wakilnya. Ketua BEM perempuan
pertama kali di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman dengan wakilnya yang
seorang laki-laki. Ketua BEM yang merekah senyumnya, berbatik kembar dengan
wakilnya. Ketua BEM yang baru saja kemarin kuantar naik motor, menuju tempat
pemberhentian bis dan ingin pulang ke tempatnya berasal menemui sang ibu dan
ayahnya, juga kakeknya. Ketua BEM yang kadang kupanggil kekasih beserta
kalimat-kalimat puitis, agar ia malu-malu dan merasa tergombal. Ketua BEM yang jika
ada di sampingku dan tidak di dekat kawan-kawannya, maka bukan lagi ketua BEM,
tapi pasangan. Ketua BEM yang kalau di hanya berdua denganku lantas berubah seperti
bukan orang yang ada di foto spanduk itu.
Menjadi
tidak percaya organisasi selama berkuliah rasanya membuatku bertanya-tanya terkadang.
Mengapa bisa mendapatkan seorang pelaku organisasi (bahkan ketua) yang mau
berbagi permasalahan hari ini dan berbagi cita-cita masa depan. Mengapa ia yang
seharusnya bisa memilih untuk mendapatkan yang mungkin seirama langkahnya dalam
irama organisasi, tapi malah memilih pria yang tidak jarang bersimpangkan di
ranah itu.
Tapi,
perlahan aku tau. Kami berdua adalah orang yang terlalu ambisius di jalan
masing-masing dan butuh teman berbagi agar tidak terlalu pekat dan malah
mengotori pikiran.
Ok..ok..
Kita berbagi kisah saja. Jangan bilang-bilang aku menceritakan ini pada kalian.
Karena saat ini dia sedang bersama kawan-kawannya, menyusun LPJ. Aku jamin, ini
tulisan yang kalau dipikir-pikir bisa saja ada lucunya, tapi akan lebih banyak
membuatmu berpikir lebih keras.
Kami
pernah bertanya pada masing-masing. Kenapa kita disatukan, padahal secara fokus
pemikiran tidak terlalu sejalan. Bahkan sewaktu-waktu ia pernah berujar kalau
dulu ia ingin punya pasangan yang kalau ketemu bisa diajak ngobrol organisasi.
Diajak ngobrol soal jadi aktivis. Kok malah dapatnya yang gak suka organisasi,
yang bahkan jadi orang paling vokal kalau aku (dia) mau turun ujuk rasa. Bahkan
bela-bela-in jemput di tengah aksi berlangsung.
Tapi ia
menjawab sendiri di tengah obrolan kita. Katanya, kalau aku dapat pasangan yang
sejalan juga, mungkin bakal kacau dan aku akan dipenuhi ambisi-ambisi tidak berujung.
Kalau aku dikasi kesempatan untuk mikir dan mutar waktu, kayanya aku enggak
bakal milih untuk nyari yang sejalan dan kayanya bakal tetep kembali ke kamu
aja. (Tuh kan so sweet, ketularan Pandu mah itu....)
Terkadang
aku diam ketika harus diajak berbicara soal ini di depannya. Karena terlalu
banyak hal yang susah untuk dijabarkan tentang bagaimana rasanya punya pasangan
yang beda jalur pemikirannya. Kecuali aku bilang, “aku mencintaimu kekasih, di
jalan manapun kau melangkah, sebab kau tau, aku tidak bosan melangkah jua di
sebelahmu.” (Tuh kann..... terbukti.)
Satu
hal yang aku sadari dari orang yang kupanggil kekasih itu adalah aku belajar
banyak darinya. Tanpa dia sadari, setiap ceritanya tentang anak buahnya di
depanku adalah pelajaran yang bisa kuambil tentang menjadi pemimpin bagaimana.
Aku tau,
dia bukan pemimpin yang sempurna.
Terlebih
menjadi ketua BEM Fakultas Perempuan Pertama. Pola sebelumnya enggak ada yang
bisa dicontoh. Ia harus meraba dengan sedikit ilmu dan pengalaman yang ia
punya. Merelakan waktu dan pikiran serta emosi yang harus ia curahkan
sedemikian rupa.
Tapi
aku belajar sikap baik pemimpin darinya untuk tga poin yang selalu kuingat. Selalu
bangga meski lelah; Harus kehilangan karena memang harus; Mungkin mereka lebih lelah
daripada aku; Membagi meski sulit.
-
Selalu Bangga Meski Lelah
Aku masih ingat ketika debutnya
menjadi ketua yang agak serius. Ketika masih berkalung jabatan sekedar staf. Ia
ditunjuk untuk menjadi ketua HUT kampus. Acara besar dengan dana besar juga
tentunya. Serta tenaga yang tentu saja terkuras demikian lelah.
Proses menuju acaranya panjang
sekali. Pertemuan kami bahkan tak jarang harus terkurangi. Jika kau bayangkan
bagaimana wajahnya ketika kami menyepatkan diri bertemu dan mengobrol, sungguh
lelah sekali, bahkan random-nya itu tidak terobati. Kadang ia jujur kalau
ditanya “Sedang lelah?”, tapi tak jarang berbohong dengan geleng kepalanya.
Tak jarang ia mengeluh lelah,
tapi berusaha kuberikan asupan semangat seadanya. Entah masuk ke dirinya atau
tidak, yang jelas aku telah berusaha.
Selesai acara yang prosesnya
panjang itu, lantas kami bertemu lagi. Mulai ketawa-ketawa dan beban di
kepalanya sudah lunas. Terbang entah kemana, lantas berlabuh di pulau kita. Aku
bertanya bahkan, “Bagaimana? Puas?”
Ia kadang menjawab puas. Tapi di
akhir jawabannya ia berkata, “Aku ngapain aja kemarin ya? Rasaku banyak waktu
yang terbuang sia-sia. Kebersamaan sama kamu juga. Rasanya kurang semua.”
Ucapannya agak miring. Seolah
menyesali yang terjadi. Tapi lucunya. Setelah jauh berbulan-bulan itu terjadi,
ia sudah menjadi ketua BEM-nya dan orang lain yang menggantikannya menjadi
ketua acara yang serupa. Ketika kutanya lagi soal masa ketika ia menjadi ketua,
lantas ia menjawab dengan yakin dan bangga. “Prosesnya panjang sih waktu itu,
tapi itu proses kaya lelah yang enggak kepikiran. Aku happy aja ngejalaninya.
Semua koordinasi baik, dan bla-bla-bla.” Semua tentang kebaikan orang-orang
yang bersamanya.
Entah dia lupa, atau berusaha
menutupi. Tapi yang kutau selama proses itu berjalan. Ia masih sempat bertemu
denganku. Kadang hanya sebentar dan beberapa kali terucap lelah dan juga
amarah-amarah kecil dengan beberapa pihak. Bahkan wajahnya yang kubilang tidak
karuan tadi pun lantas ia anggap kemudian sebagai sesuatu yang happy. Yang dia
banggakan.
Satu hal yang kupelajari darinya
adalah ia selalu bangga dan berusaha lupa meski itu membuatnya lelah atau
marah. Tersenyum lantas mengejar lagi yang berikutnya.
-
Harus Kehilangan Karena Memang Harus
Selepas
menjadi ketua acara HUT kampus. Dia pernah bilang “Aku udah capek lah
begini-begini lagi. Enggak lagi deh. Menguras emosi, kadang.” Kalimat itu
keluar selepas acara. Mungkin akan berubah dengan penuh kebanggan kalau sudah
lewat dari beberapa bulan. Seperti yang kuceritakan di atas tadi. Tapi, selepas
dia bilang seperti itu, dikepala ku terbersit seketika. Nampaknya ia belum
selesai. Selepas ini, pasti ada yang lebih berat dari pada ini, di taruh di
pundaknya, mau tidak mau. Bahkan ketua BEM (mungkin).
Aku
bahkan sempat beberapa minggu setelah itu. Mengiriminnya pertanyaan lewat pesan.
“Kalau tiba-tiba kamu disuruh jadi ketua BEM gimana?” Enggak ada angin enggak
ada hujan. Enggak ada juga orang yang kasak-kusuk bisikin ke kupingku soal ini.
Tapi dugaan seorang mantan pesulap aja. Dan penuh dengan
perhitungan-perhitungan matematis.
Lantas
ia menjawab. “Enggak lah. Lagian aku enggak mau. Aku mau baikin kuliahku yang
kemarin.”
“Beneran?
Janji?”
“Iya.”
“Aku
Screenshot loh ya. Buat bukti kalau kapan-kapan kamu mau naik ketua BEM. Tinggal
aku tunjukin chat.”
Lantas
dia tertawa lewat emoticon dan berujar, “SS aja.”
Kemudian
beberapa bulan selepas itu. Konflik terjadi. Dugaanku benar seratus persen.
Semua orang menyuruh dia naik jadi ketua BEM sedangkan dia sadar pernah
berjanji untuk tidak, padaku. Sayang banget, SS-nya udah kehapus karena handphone
enggak bisa ajak kompromi. Untungnya, itu enggak pernah kehapus di ingatan kami
berdua.
Kami
duduk sore itu membicarakan sebuah keputusan. Menjadi ketua BEM dan mengurusi
itu hal-hal yang ada di kampus, tentu tidak semudah yang orang bayangkan.
Banyak hal yang harus hilang. Termasuk waktu kami berdua, dan tentang kuliahnya
yang harus ia baiki.
Tidak
ada yang setuju saat itu termasuk orang tuanya, termasuk saya tapi ia tidak
punya pilihan lain. Tidak ada calon yang berani mendaftar. Yang berkompeten dan
dianggap mampu serta punya relasi baik dengan kampus hanya dia. Jadi ia pun
turun saat itu dan lantas menang serta menjadi ketua BEM.
Semua
orang bahagia saat itu. Pendukungnya, orang-orang akademik kampus (karena
merasa akhirnya punya ketua BEM yang relasi dan komunikasinya baik), mungkin
juga dia. Tapi saya yakin tidak separuhnya. Kebahagiaannya terganjal dengan
kesadarannya akan ada banyak hal yang harus ia relakan hilang dari hidupnya.
Terutama waktu dan juga pikiran. Untuk dirinya sendiri, keluarga, pendidikannya
dan mungkin kita.
Hal
yang kupelajari dari ini adalah tentang kesadarannya untuk rela hilang akan
sesuatu. Saat itu bahkan aku berusaha mengelaknya dengan emosi (waktu itu masih
enggak iklas aja, dia ngingkari janji). “Kamu bisa loh untuk bodo amat dengan
ini, sedangkan orang di luar sana diam-diam aja, happy-happy aja tanpa ada yang
harus hilang dari hidup mereka. Kenapa harus kamu yang merelakan dirimu di
sini?”
Tapi
jawabannya yang membuatku paham benar bahwa ini pilihan berat untuk dia dan pilihannya
saat itu adalah yang terbaik yang bisa dia dapatkan dan aku belajar tentang mengiklaskan
banyak.
“Iya
sih. Tapi kita enggak pernah tau. Siapa tau mereka lebih banyak yang hilang
dari hidup mereka, dengan aku tidak memilih keputusan ku saat ini.”
-
Mungkin Mereka Lebih Lelah Daripada Aku
Seperti
kisah yang sebelumnya. Ia selalu punya kepercayaan soal hidup ini bukan soal kita aja, tapi juga soal orang lain. Sebagai
ketua BEM yang tidak enakan. Kadang menjerumuskan dirinya ke berbagai macam
situasi yang melelahkan dirinya sendiri. Aku sebagai orang awam, yang tidak tahu
menahu soal organisasi seperti BEM dan hanya melihat BEM selama ini berjalan di
kampus, kadang protes.
“Seingetku,
ketua BEM yang sebelum-sebelumnya, enggak seribet ini deh. Enggak secapek ini.
Kamu kok sampai begini?”
Dan jawabannya
selalu sama, “ya.. kita enggak tau aja. Siapa tau mereka dulu ribet juga. Sudah
ah, jangan suka begitu. Aku enggak capek kok. Biasa aja ni.”
Selalu
seperti itu. Kadang ia kerap menutup lelahnya dengan berkata sebaliknya. Jika
dulu ketika jadi ketua acara, lelah dan dan wajah randomnya yang tidak terobati
bisa dihitung dalam beberapa minggu akan hilang, saat ini wajah-wajah seperti
itu kadang tiba-tiba datang dipertemuan yang paling dirindukan. Ketika lama
sekali tidak bersua. Lantas bersua, bisa saja ia menekuk wajahnya tanpa ia
sadar. Bahkan setipis apapun, aku tahu itu.
Satu
hal yang kupelajari lagi darinya adalah. Sebisa mungkin tidak berkata lelah
meski lelah. Mungkin itu terjadi karena dia memegang kepercayaan bahwa mungkin
orang lain lebih lelah darinya.
Ia
orang yang paling handal bersembunyi dari lelah kepada orang lain. Tapi tidak handal
menyembunyikan lelah dariku. Kadang aku sering melihat senyumnya merekah lebar
ketika di depan staf-stafnya. Tapi lantas luntur ketika bertemu denganku.
Ia
mengaku memang. Aku adalah pengecualian banyak dalam hidupnya. Kepalsuanku
(dia) kadang tidak banyak bisa terjadi di depanmu (aku). Walapun terkadag jadi pertanyaan
tentang kenapa ia begitu. Mengapa wajahnya tertekuk, namun ketika ditanya
kenapa, ia selalu menjawab, “Aku tidak kenapa-kenapa.”
Bahkan
kami sering berselisih hanya soal ini. Ia terus saja menyembunyikan alasan.
Sedang aku berharap diberitahu penyebabnya. Tapi, aku sadari, menjadi dia bukan
perkara mudah. Membagi diri, sangat tidak gampang.
-
Membagi Meski Sulit
Kadang.
Ini yang jadi permasalahan kami. Tapi, menjadi tantangan besarnya. Jika ia
ingin menyerah denganku. Mungkin mudah saja. Tapi aku bersyukur dengannya,
karena bukan itu yang dia pilih. Ia memilih untuk membagi. Meski seharusnya
tidak untuk dibagi. Ia memilih untuk membagi meski sulit. Ia memilih untuk
sulit ketimbang kehilangan.
Kadang
ia tak punya waktu, bahkan barang sejenak mengabariku. Kadang ia tak punya
kesempatan, bahkan barang sejenak menepikan. Ia bahkan sering diserang oleh berbagai
pihak yang berusaha dia bagi. Untuk meminta lebih atau semua darinya. Padahal itu
tidak mungkin. Tidak kupungkiri. Kadang aku juga menjadi pihak yang begitu.
Tapi ia masih bertahan.
Ia
relakan banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk membuka novel dan analisis calon
skripsinya. Untuk pilihan besar yang dia pilih saat itu. Tapi ia memilih
berdiri untuk membagi, untuk tidak menghilangkan satu apapun, walaupun
intensitasnya kurang.
Ia
lebih memilih untuk membagi dari pada kehilangan itu sama sekali. Ia sadar
bahwa lebih baik kurang ketimbang kehilangan karena penyesalannya pasti tidak
akan pernah terbayar.
Aku belajar
banyak soal ini darinya. Bahkan ini yang bisa kubawa kelak kalau bisa hidup
bersamanya. Hidup membawa kita pada pembagian-pembagian yang sulit. Aku sadar
kadang soal itu, walau kadang suka lupa tentang beratnya ini di hadapannya. Kadang
suka membawanya pada perdebatan-perdebatan soal ini.
***
Sebentar
lagi, mungkin ia akan selesai tugasnya. Setelah itu akan fokus menyelesaikan
tugas akhir yang ia janjikan akan segera ia selesaikan secepat mungkin. Ia
ingin membukti bahwa ia bisa lulus cepat meski pernah menjabat sebagai ketua.
Berapa
hari yang lalu, ia berujar padaku. Apa aku salah pilih penerus?
Aku
tahu maksudnya. Ia lelah.
Ia
binggung karena tidak menemukan dirinya di orang lain yang ia temui setahun
ini. Orang yang ia pikir seharusnya mampu melanjutkan tapi orang-orang tersebut
tidak ada yang sepertinya. Ia itdak mengatakan ia baik, tapi rela kehilangan
banyak untuk menyukseskan, mengapa ia tidak temukan.
Meletup-letup
mungkin lelah di kepalanya. Sampai terucap kalimat itu ketika kami sedang
menghabiskan beberapa jam malam hari di sebuah lantai cafe tempat kami
menyeruput soda gembira dan coklat dingin serta teh panas.
Aku
tidak bisa berucap banyak. Tanpa ia sadari, aku orang yang di luar dari
tempatnya yang ia ketuai bahkan bisa belajar banyak. Aku yakin orang yang satu
forum dengannya pasti belajar lebih banyak lagi. Terima kasih atas kesanggupannya
untuk tetap tanpa pergi.
***
Terima
kasih.
Sehat selalu.
Dan aku
minta maaf.
Tersenyumlah
terus padaku kekasih, meski itu hanya terekah sebelum engkau terlelap.
Samarinda, 30 Agustus 2018