Lama kami merencanakan perjalanan ini. Sampai pada akhirnya
kami punya waktu untuk itu.
Tepat hari minggu yang lalu, kami melakukan liburan. Aku dan
dia tentu saja. Liburan tipis-tipis. Dari Samarinda menuju Tenggarong. Tidak
jauh. Jika ada yang bertanya berapa jauh, sekitar satu jam setengah, dipastikan
tiba di sana. Btw, Tenggarong adalah tempat yang penuh dengan tempat wisata.
Sehari saja rasanya tak cukup untuk mengunjunginya keseluruhan. Dari wisata
edukasi sampai pure wisata aja, semua ada.
Dari Samarinda, kami menuju Tenggarong pukul delapan pagi.
Cuacanya mulai tidak bersahabat sejak dari rumah. Mendung, tapi harus di gas
biar rencana lama ini tidak batal lagi. Dengan kesadaran sederhana kalau di
Tenggarong tidak akan kena hujan.
Sayangnya, hujan lantas mengguyur kami di atas motor saat itu.
Perjalanan masih jauh, ada langit bersih sebenarnya di bagian Tenggarong, tapi
kami tak bisa mengejar lokasi itu kalau tanpa jas hujan. Bisa-bisa liburan kami
dengan baju basah kuyup. Kami memutuskan berjas hujan dan melajutkan
perjalanan.
Untunglah, tidak beberapa lama, kami sampai di tempat dengan
langit cerah itu. Kami melanjutkan perjalanan kami tanpa menggunakan jas hujan.
(kembali ke hakikatnya manusia normal) :D.
Sejujurnya, kami berdua masih agak ragu menuju Tenggarong.
Kami jarang ke sana, jalanannya pun hanya ingatan tipis. Tapi kami ikuti alur
jalan, dan menghabiskan jarak dengan banyak mengobrol. Rasanya, hal yang baik
dari perjalanan jauh adalah adanya banyak waktu bercerita. Apapun, dan tanpa
sadar sudah tiba di Tenggarong.
“Loh, kok cepet aja? Kupikir jauh loh.” Ucapnya padaku.
“Lah iya, aku kira juga masih jauh. Aku ingat dulu, berasa
lama sampainya.” Jawabku.
Padahal kami bukan tidak merasa jauh, tapi tidak terasa saja,
karena dipenuhi dengan cerita.
Destinasi pertama kami adalah Pulau Kumala. Taman wisata yang
berada di sebuah pulau di Tenggarong. Bentuknya litterally pulau, makanya
disebut pulau Kumala. Kalau beberapa tahun yang lalu, akses menuju tempat ini
adalah dengan kapal. Namun sekarang, aksesnya dipermudah dan diperaman dengan
dibangunnya jembatan. Jadi kami menyebrang dari Tenggarong ke pulau ini dengan
jalan kaki.
Setibanya di sana. Kami mulai dengan sarapan. Aku
memilih memakan nasi sop dan dia memilih untuk makan nasi campur. Makannya sih
cukup lumayan, tapi tidak wah-wah sekali. Harganya cukup normal, bila
dibandingkan dengan harga makanan yang biasanya meningkat 2x lipat saat berada
di tempat wisata. Jadi, cukup bisa dipahami dengan akal sehat dan merasa tidak
dihebak karena ini tempat wisata.
Selepas sarapan, kami berjalan kecil di tempat ini. Berbincang
dan tersenyum karena akhirnya bisa terlaksana rencana lama ini.
Sejak dari Samarinda, kami sepakat untuk menyewa sepeda
gandeng. Mengayuh berdua dan mengelilingi pulau ini dengan sepeda. Kami menyewa
sepeda gandeng berdua. Harga sewanya cukup normal, lagi-lagi tidak menjebak. Satu
jam 30rb dan 2 jam 50rb. Jadi kami sewa 2 jam dengan keyakinan bahwa
cukup-cukup saja untuk mengelilingi pulau ini selama dua jam.
Lama aku tak mengayuh sepeda. Terlebih sepeda gandeng seperti
ini. Baru kali ini. Tapi pelan-pelan kami terbiasa. Agak susah dipertama karena
kami harus sepakat mengayuh. Menyelaraskan kaki.
Kami mengelilingi tempat ini. Rutenya banyak. Aku baru pertama
kali di pulau ini. Sedangkan dia sudah pernah. Jadi aku menurut maunya kemana.
Kami sepakat menuju rute apapun sama-sama.
Banyak patung-patung naga, singgahsana raja, serta ukiran-ukiran
candi. Semua bisa dinikmati mata dengan fotoable untuk kami mengabadikan
kebersamaan. Pindah tempat, kami foto, pindah tempat kami foto. Cukup membuat
kami lupa dengan banyak hal di Samarinda yang jadi tanggung jawab kami. Sedikit
melepas penat dengan rutinitas yang mengekang.
Kami berkeliling hampir di keseluruhan isi pulau. Kayuhan dari
semangat sampai terdengar suara ngos-ngosan dari kami berdua. Akibat jarang
olahraga dan jarang bersepeda.
“Tau gini nyewa motor elektrik aja.” Ujarnya.
“Endak papa, kan sudah sepakat untuk nyewa sepeda dari lama.”
Jawabku.
Lelah memang bersepeda seperti ini. Tapi, ada sesuatu yang
bisa kutarik nantinya.
Kami sudah berkeliling dan ternyata masih 1 jam perjalanan.
Masih ada masa sewa sepeda kami sekitar 1 jam lagi. Kami kemudian mampir ke
sebuah kios dan membeli jajanan berupa pentol, sambil membeli air minum
mineral. Kalau ditanya harga, lagi-lagi normal, tempat ini layaknya tempat
biasa saja, walaupun notabene sebuah tempat wisata.
Lagi-lagi kami berbincang, mengobrol bannyak hal yang tak
terobrolkan. Sembari bergantian menggunakan tusukan lidi untuk menusuk pentol
dan memakannya. Kami bersitirahat dari ngos-ngosannya kami bersepeda. Rintik
hujan di sini pulau turun, nampaknya hujan mengejar kami. Untungnya, hanya
rintik-rintik.
Kami lantas pergi selepas makan. Ia memutuskan sebentar ke
kios pernak-pernik dan membeli sebuah cincin berwarna orange. Diletakkanya di
jari tangan. Lantas kami melajutkan perjalanan, dan sepakat mengembalikan
sepeda meski masih ada jatah setengah jam lagi. Anggap saja itu amal. Hehehe.
Kami percaya sih sebenarnya sepeda ini walaupun dikembalikan
telat, enggak akan ketahuan, karena tidak ada pengecekan waktu dan tidak ada
tanda sama sekali atau GPS di sepeda. Kalaupun hilang, sepeda ini enggak
ketahuan. Kecuali malam-malam ketika mereka mau tutup dan pasti melakukan cek
ulang jumlah sepeda, baru deh binggung.
Azan dhuhur. Kami memutuskan untuk beribadah dulu sebentar.
Sebelum pergi dari tempat ini dan melanjutkan destinasi ke tempat berikutnya.
Selepasnya. Kami meninggalkan pulau ini dan menuju destinasi
kami berikutnya yaitu Ladaya. Kepajanganya yaitu Ladang Budaya. Sayangnya,
maupun aku atau dia, lupa jalan kesananya. Dia malah belum pernah kesana, aku pernah,
tapi sudah lama sekali. Aku putuskan untuk bertanya pada tukang penitipan helm
di pulau kumala. Ia memberikan arahan, tapi tipis dan sedikit samar. Kami
berkeyakinan saja dengan arahannya.
Kami lantas berkeliling. Sayangnya, buntu, kami tersesat. Tak
tahu arah membuat kami mengeluarkan jurus google map. Untunglah google map tau
aja ni tempatnya di mana. Kami diarahkan sampai tiba di tempat. Agak
muter-muter dan aku yakin, pasti ada rute yang lebih ringan. Permasalahan
google map adalah ini.
Setibanya di Ladaya, kami disambut dengan guyuran hujan. Benar,
hujan mengejar kami sampai sini. Kami masuk ke Ladaya, sebuah tempa wisata yang
di dalamnya ada beberapa hewan yang disangkar, miip-mirip mini zone, dan ada
beberapa wahana tempat bermain atau outbound. Sisanya, adalah tempat wisata
yang memang enak aja untuk bersantai. Rumah-rumah lucu kecil, adalah latar foto
yang paling diincar kalau di tempat ini.
Kami memutuskan untuk keliling saja. Setelah sebelumnya masuk
di Ladaya, kami di suguhkan dengan tempat jajanan yang menggiurkan. Tapi kami
hanya membeli minum lantas melanjutkan perjalanan meski rintik hujan masih
banyak membasahi.
Kami duduk beberapa saat di tempat-tempat ini. Menyaksikan
orang-orang berlibur bersama keluarga mereka, atau kerabat kerja bahkan kelompok
perkumpulan. Kami duduk di depan rumah, di tempat-tempat duduk yang disediakan,
sambil kembali melihat aktifitas orang-orang dan mengobrol.
Tidak banyak yang kami lakukan di tempat ini. Ketika kami merasa
cukup, kami lantas pulang dari tempat ini dan menjenakkan diri kami di tempat
makan jajanan yang kami lewati saat masuk tadi. Kami membeli sebuah potatoes
role yang di goreng, dan lagi-lagi aku memilih untuk membeli pentol. Bedanya,
kalau di kumala tadi adalah pentol ngebor, yang aku beli di sini adalah pentol
rebus. Pentolnya enak sekali. Aku jadi pengen makan lagi pas lagi nulis ini,
sayang, jauh belinya.
Selepas makan, kami memutuskan untuk pulang. Kembali ke
Samarinda, menatap rutinitas kami seperti biasanya. Di perjalanan pulang,
ketika kami di Samarinda, kami memutuskan untuk mampir sejenak di tempat makan
Gami, memilih menu Sambal gami dengan ayam dan sambal gami dengan udang.
Makanan ini sebenarnya khas dari Bontang. Tapi kami belum punya kesempatan
untuk mencicipi gami asli di Bontang langsung. Entahlah, mungkin destinasi kami
berikutnya. Di liburan part 2.
--
Rasanya...
Perjalanan jauh adalah sesuatu yang diperlukan. Ia mengajarkan
banyak hal dan membuat kita memahami lebih dalam. Ada beberapa hal yang bisa
kuambil secara pribadi dari perjalanan kami.
Pertama adalah perjalanan jauh, tak terasa karena kami ngobrol
dan bercerita apa saja. Kurasa, kehidupan atau hubungan, akan tak terasa
lamanya, bila dijalani dengan bersenda gurau, bercerita dan saling menikmati
perjalanan. Kami mungkin sebentar lagi menuju garis finish kami. Kami rasa
kehidupan setelah ini adalah sesuatu yang panjang, yang mungkin memang harus
banyak diselingi cerita, sehingga tanpa sadar kami sudah tua dan beristirahat.
Kedua, kami mengayuh sepeda gandeng. Dari kayuhan ini, aku bisa
katakan bahwa rasanya mirip seperti kehidupan atau hubungan, kita harus sepakat
untuk mengayuh bersama. Tanpa harus berbeda untuk menuju tujuan yang sama-sama
ingin dituju. Kelak, ketika kami tiba di garis finish, maka kehidupan kami akan
perlu banyak yang selaras. Menurunkan ego bersama untuk satu tujuan yang memang
diinginkan sama-sama.
Ketiga, kami percayakan ketersesatan kami dengan google map.
Padahal kami juga tidak tahu apa google map benar. Rasanya, ini jadi sesuatu
yang sangat berkesan. Kelak ketika kami finish. Kami berdua harus menjalani kebersamaan
kami dengan apa yang kami percayai. Panduan yang kami percayai. Baik atau buruk
kami sepakat untuk mempercayai tersebut. Kami harus lebih patuh pada pedoman
kami.
Mungkin kalian tidak tahu. Kami diajak belajar banyak selepas
perjalanan liburan kami. Kami diperseterukan oleh banyak hal. Termasuk mungkin
apa yang terlawan dari tiga hal yang aku pelajari ini.
Mungkin. Kami terpasangkan dengan tidak sempurna. Banyak
celah, salah dan juga sesuatu yang masih banyak perlu kami perdebatkan. Kami
sama saja seperti orang lain di luar sana. Penuh dengan kemarahan-kemarahan.
Aku percaya, kelak kami akan menuju finish dengan tujuan jelas
yang kami percayai seperti google map. Aku percaya kami bisa menjalani hidup dengan
saling bersama seperti mengayuh sepeda. Serta aku percaya kami bisa melewati
rute panjang ini dengan bercerita dan menikmati segalanya tanpa terasa
membosankan.
Tidak ada yang sempurna. Marah, tertawa, bahagia, semua adalah
bumbu dari perjalanan. Seperti jalanan kita di negeri ini, tak ada yang mulus,
tapi pastinya kita akan sampai di tujuan dengan bahagia.
Maafkan aku belum banyak memberimu hal-hal luar biasa. Tapi
percayalah, aku tak pernah lunturkan cinta barang sedikit pun.
Terima kasih telah ingin menetap dan berjuang sama-sama. Aku
merindukanmu.
Maaf.