Pages

Labels

Thursday, 18 October 2018

Liburan dan Sesuatu yang Kutarik di Akhir Kisah


Lama kami merencanakan perjalanan ini. Sampai pada akhirnya kami punya waktu untuk itu.

Tepat hari minggu yang lalu, kami melakukan liburan. Aku dan dia tentu saja. Liburan tipis-tipis. Dari Samarinda menuju Tenggarong. Tidak jauh. Jika ada yang bertanya berapa jauh, sekitar satu jam setengah, dipastikan tiba di sana. Btw, Tenggarong adalah tempat yang penuh dengan tempat wisata. Sehari saja rasanya tak cukup untuk mengunjunginya keseluruhan. Dari wisata edukasi sampai pure wisata aja, semua ada.

Dari Samarinda, kami menuju Tenggarong pukul delapan pagi. Cuacanya mulai tidak bersahabat sejak dari rumah. Mendung, tapi harus di gas biar rencana lama ini tidak batal lagi. Dengan kesadaran sederhana kalau di Tenggarong tidak akan kena hujan.

Sayangnya, hujan lantas mengguyur kami di atas motor saat itu. Perjalanan masih jauh, ada langit bersih sebenarnya di bagian Tenggarong, tapi kami tak bisa mengejar lokasi itu kalau tanpa jas hujan. Bisa-bisa liburan kami dengan baju basah kuyup. Kami memutuskan berjas hujan dan melajutkan perjalanan.

Untunglah, tidak beberapa lama, kami sampai di tempat dengan langit cerah itu. Kami melanjutkan perjalanan kami tanpa menggunakan jas hujan. (kembali ke hakikatnya manusia normal) :D.

Sejujurnya, kami berdua masih agak ragu menuju Tenggarong. Kami jarang ke sana, jalanannya pun hanya ingatan tipis. Tapi kami ikuti alur jalan, dan menghabiskan jarak dengan banyak mengobrol. Rasanya, hal yang baik dari perjalanan jauh adalah adanya banyak waktu bercerita. Apapun, dan tanpa sadar sudah tiba di Tenggarong.

“Loh, kok cepet aja? Kupikir jauh loh.” Ucapnya padaku.

“Lah iya, aku kira juga masih jauh. Aku ingat dulu, berasa lama sampainya.” Jawabku.

Padahal kami bukan tidak merasa jauh, tapi tidak terasa saja, karena dipenuhi dengan cerita.

Destinasi pertama kami adalah Pulau Kumala. Taman wisata yang berada di sebuah pulau di Tenggarong. Bentuknya litterally pulau, makanya disebut pulau Kumala. Kalau beberapa tahun yang lalu, akses menuju tempat ini adalah dengan kapal. Namun sekarang, aksesnya dipermudah dan diperaman dengan dibangunnya jembatan. Jadi kami menyebrang dari Tenggarong ke pulau ini dengan jalan kaki.

Setibanya di sana. Kami mulai dengan sarapan. Aku memilih memakan nasi sop dan dia memilih untuk makan nasi campur. Makannya sih cukup lumayan, tapi tidak wah-wah sekali. Harganya cukup normal, bila dibandingkan dengan harga makanan yang biasanya meningkat 2x lipat saat berada di tempat wisata. Jadi, cukup bisa dipahami dengan akal sehat dan merasa tidak dihebak karena ini tempat wisata.

Selepas sarapan, kami berjalan kecil di tempat ini. Berbincang dan tersenyum karena akhirnya bisa terlaksana rencana lama ini.

Sejak dari Samarinda, kami sepakat untuk menyewa sepeda gandeng. Mengayuh berdua dan mengelilingi pulau ini dengan sepeda. Kami menyewa sepeda gandeng berdua. Harga sewanya cukup normal, lagi-lagi tidak menjebak. Satu jam 30rb dan 2 jam 50rb. Jadi kami sewa 2 jam dengan keyakinan bahwa cukup-cukup saja untuk mengelilingi pulau ini selama dua jam.


Lama aku tak mengayuh sepeda. Terlebih sepeda gandeng seperti ini. Baru kali ini. Tapi pelan-pelan kami terbiasa. Agak susah dipertama karena kami harus sepakat mengayuh. Menyelaraskan kaki.

Kami mengelilingi tempat ini. Rutenya banyak. Aku baru pertama kali di pulau ini. Sedangkan dia sudah pernah. Jadi aku menurut maunya kemana. Kami sepakat menuju rute apapun sama-sama.

Banyak patung-patung naga, singgahsana raja, serta ukiran-ukiran candi. Semua bisa dinikmati mata dengan fotoable untuk kami mengabadikan kebersamaan. Pindah tempat, kami foto, pindah tempat kami foto. Cukup membuat kami lupa dengan banyak hal di Samarinda yang jadi tanggung jawab kami. Sedikit melepas penat dengan rutinitas yang mengekang.

Kami berkeliling hampir di keseluruhan isi pulau. Kayuhan dari semangat sampai terdengar suara ngos-ngosan dari kami berdua. Akibat jarang olahraga dan jarang bersepeda.

“Tau gini nyewa motor elektrik aja.” Ujarnya.

“Endak papa, kan sudah sepakat untuk nyewa sepeda dari lama.” Jawabku.

Lelah memang bersepeda seperti ini. Tapi, ada sesuatu yang bisa kutarik nantinya.

Kami sudah berkeliling dan ternyata masih 1 jam perjalanan. Masih ada masa sewa sepeda kami sekitar 1 jam lagi. Kami kemudian mampir ke sebuah kios dan membeli jajanan berupa pentol, sambil membeli air minum mineral. Kalau ditanya harga, lagi-lagi normal, tempat ini layaknya tempat biasa saja, walaupun notabene sebuah tempat wisata.

Lagi-lagi kami berbincang, mengobrol bannyak hal yang tak terobrolkan. Sembari bergantian menggunakan tusukan lidi untuk menusuk pentol dan memakannya. Kami bersitirahat dari ngos-ngosannya kami bersepeda. Rintik hujan di sini pulau turun, nampaknya hujan mengejar kami. Untungnya, hanya rintik-rintik.

Kami lantas pergi selepas makan. Ia memutuskan sebentar ke kios pernak-pernik dan membeli sebuah cincin berwarna orange. Diletakkanya di jari tangan. Lantas kami melajutkan perjalanan, dan sepakat mengembalikan sepeda meski masih ada jatah setengah jam lagi. Anggap saja itu amal. Hehehe.

Kami percaya sih sebenarnya sepeda ini walaupun dikembalikan telat, enggak akan ketahuan, karena tidak ada pengecekan waktu dan tidak ada tanda sama sekali atau GPS di sepeda. Kalaupun hilang, sepeda ini enggak ketahuan. Kecuali malam-malam ketika mereka mau tutup dan pasti melakukan cek ulang jumlah sepeda, baru deh binggung.

Azan dhuhur. Kami memutuskan untuk beribadah dulu sebentar. Sebelum pergi dari tempat ini dan melanjutkan destinasi ke tempat berikutnya.

Selepasnya. Kami meninggalkan pulau ini dan menuju destinasi kami berikutnya yaitu Ladaya. Kepajanganya yaitu Ladang Budaya. Sayangnya, maupun aku atau dia, lupa jalan kesananya. Dia malah belum pernah kesana, aku pernah, tapi sudah lama sekali. Aku putuskan untuk bertanya pada tukang penitipan helm di pulau kumala. Ia memberikan arahan, tapi tipis dan sedikit samar. Kami berkeyakinan saja dengan arahannya.

Kami lantas berkeliling. Sayangnya, buntu, kami tersesat. Tak tahu arah membuat kami mengeluarkan jurus google map. Untunglah google map tau aja ni tempatnya di mana. Kami diarahkan sampai tiba di tempat. Agak muter-muter dan aku yakin, pasti ada rute yang lebih ringan. Permasalahan google map adalah ini.

Setibanya di Ladaya, kami disambut dengan guyuran hujan. Benar, hujan mengejar kami sampai sini. Kami masuk ke Ladaya, sebuah tempa wisata yang di dalamnya ada beberapa hewan yang disangkar, miip-mirip mini zone, dan ada beberapa wahana tempat bermain atau outbound. Sisanya, adalah tempat wisata yang memang enak aja untuk bersantai. Rumah-rumah lucu kecil, adalah latar foto yang paling diincar kalau di tempat ini.

Kami memutuskan untuk keliling saja. Setelah sebelumnya masuk di Ladaya, kami di suguhkan dengan tempat jajanan yang menggiurkan. Tapi kami hanya membeli minum lantas melanjutkan perjalanan meski rintik hujan masih banyak membasahi.

Kami duduk beberapa saat di tempat-tempat ini. Menyaksikan orang-orang berlibur bersama keluarga mereka, atau kerabat kerja bahkan kelompok perkumpulan. Kami duduk di depan rumah, di tempat-tempat duduk yang disediakan, sambil kembali melihat aktifitas orang-orang dan mengobrol.


Tidak banyak yang kami lakukan di tempat ini. Ketika kami merasa cukup, kami lantas pulang dari tempat ini dan menjenakkan diri kami di tempat makan jajanan yang kami lewati saat masuk tadi. Kami membeli sebuah potatoes role yang di goreng, dan lagi-lagi aku memilih untuk membeli pentol. Bedanya, kalau di kumala tadi adalah pentol ngebor, yang aku beli di sini adalah pentol rebus. Pentolnya enak sekali. Aku jadi pengen makan lagi pas lagi nulis ini, sayang, jauh belinya.

Selepas makan, kami memutuskan untuk pulang. Kembali ke Samarinda, menatap rutinitas kami seperti biasanya. Di perjalanan pulang, ketika kami di Samarinda, kami memutuskan untuk mampir sejenak di tempat makan Gami, memilih menu Sambal gami dengan ayam dan sambal gami dengan udang. Makanan ini sebenarnya khas dari Bontang. Tapi kami belum punya kesempatan untuk mencicipi gami asli di Bontang langsung. Entahlah, mungkin destinasi kami berikutnya. Di liburan part 2.

--

Rasanya...

Perjalanan jauh adalah sesuatu yang diperlukan. Ia mengajarkan banyak hal dan membuat kita memahami lebih dalam. Ada beberapa hal yang bisa kuambil secara pribadi dari perjalanan kami.

Pertama adalah perjalanan jauh, tak terasa karena kami ngobrol dan bercerita apa saja. Kurasa, kehidupan atau hubungan, akan tak terasa lamanya, bila dijalani dengan bersenda gurau, bercerita dan saling menikmati perjalanan. Kami mungkin sebentar lagi menuju garis finish kami. Kami rasa kehidupan setelah ini adalah sesuatu yang panjang, yang mungkin memang harus banyak diselingi cerita, sehingga tanpa sadar kami sudah tua dan beristirahat.

Kedua, kami mengayuh sepeda gandeng. Dari kayuhan ini, aku bisa katakan bahwa rasanya mirip seperti kehidupan atau hubungan, kita harus sepakat untuk mengayuh bersama. Tanpa harus berbeda untuk menuju tujuan yang sama-sama ingin dituju. Kelak, ketika kami tiba di garis finish, maka kehidupan kami akan perlu banyak yang selaras. Menurunkan ego bersama untuk satu tujuan yang memang diinginkan sama-sama.

Ketiga, kami percayakan ketersesatan kami dengan google map. Padahal kami juga tidak tahu apa google map benar. Rasanya, ini jadi sesuatu yang sangat berkesan. Kelak ketika kami finish. Kami berdua harus menjalani kebersamaan kami dengan apa yang kami percayai. Panduan yang kami percayai. Baik atau buruk kami sepakat untuk mempercayai tersebut. Kami harus lebih patuh pada pedoman kami.

Mungkin kalian tidak tahu. Kami diajak belajar banyak selepas perjalanan liburan kami. Kami diperseterukan oleh banyak hal. Termasuk mungkin apa yang terlawan dari tiga hal yang aku pelajari ini.

Mungkin. Kami terpasangkan dengan tidak sempurna. Banyak celah, salah dan juga sesuatu yang masih banyak perlu kami perdebatkan. Kami sama saja seperti orang lain di luar sana. Penuh dengan kemarahan-kemarahan.

Aku percaya, kelak kami akan menuju finish dengan tujuan jelas yang kami percayai seperti google map. Aku percaya kami bisa menjalani hidup dengan saling bersama seperti mengayuh sepeda. Serta aku percaya kami bisa melewati rute panjang ini dengan bercerita dan menikmati segalanya tanpa terasa membosankan.

Tidak ada yang sempurna. Marah, tertawa, bahagia, semua adalah bumbu dari perjalanan. Seperti jalanan kita di negeri ini, tak ada yang mulus, tapi pastinya kita akan sampai di tujuan dengan bahagia.

Maafkan aku belum banyak memberimu hal-hal luar biasa. Tapi percayalah, aku tak pernah lunturkan cinta barang sedikit pun.

Terima kasih telah ingin menetap dan berjuang sama-sama. Aku merindukanmu.

Maaf.

Jangan lelah sama-sama bermimpi.

 Sehat Terus........

Monday, 15 October 2018

Swastamita


Aku ingin mengajakmu pergi sore ini.
Menuju ujung tempat surya perlahan menghabisi diri.
Aku ingin kita menaruh segala kekacauan di dasar tanah sore ini.
Kembali dan beristirahat serta pulih esok pagi.

Kita nikmati senja kala kita sama.
Kita nikmati tanpa ada yang berirama.
Kita nikmati hari kala beban tidak ada.
Kita nikmati semuanya sama-sama.

Swastamita itu harusnya membuatmu tau.
Begitu binggungnya ia.
Begitu sedihnya ia.
Begitu ia sangat merindukanmu.

Esok hari.
Biarkan arunika yang membawa kita pada awal yang baru

Aku, swastamita, arunika, merindukanmu.

-16 Okt 18
Pandu Pratama Putra