Pages

Labels

Sunday, 20 September 2015

Cerpen DuKem : Kemana Kau Berapa Hari Ini ?



            Kulihat ramai – ramai masyarakat berkumpul di pusat kota menyaksikan karnaval yang setiap tahun di adakan di kota ku ini, aku menyaksikan penampilan – penampilan musik etnic yang di padukan dengan tarian daerah yang cukup menghibur. Riuh tawa dan senyum masyarakat sekitar membuat suasana semakin terlihat gembira.

Aku bersama dengan kawan ku Jubai menyaksikan betapa asiknya karnaval tersebut, meski hanya dari jauh karena hampir semua masyarakat mengelilingi panggung kecil yang tak terlihat seperti panggung itu, memuji betapa hebatnya orang – orang ini, meski mungkin mereka tak pernah menginjakkan kaki di sekolah tinggi ilmu musik sekalipun. Sepertinya musik sudah menjadi jiwa mereka.

Aku ada di barisan lingkaran paling luar bersama Jubai, ia terlihat antusias, mungkin karena cita – citanya yang ingin jadi pemain musik tapi tidak pernah kesampaian membuat dia seantusias itu. Aku juga suka dengan suasana ini, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, sesuatu yang membuat suasana di sini terasa ada yang beda, keramaian ini membuat ku merasa membohongi diri yang lagi tidak kondusif untuk hal se asik ini.

Sesuatu itu mengganjal terus, meski sudah beberapa kali ku coba usir untuk melupakannya sejenak. Tapi dia bagaikan sebuah benda yang terpatri kuat karena lem Korea, aku juga binggung sendiri jadinya.

Ku lihat Jubai makin antusias dan tak menggubris sahabat yang ada di sampingnya ini, dia seolah memiliki dunia sendiri, mencoba masuk ke dalam kerumunan yang padat itu, dan memanfaatkan badan kecilnya untuk bisa menerobos dan berdiri di barisan paling depan. Aku sudah tidak punya tenaga dan kemauan seperti itu, jadi ku biarkan dia sendiri maju, dan aku masih di tempat awal ku.

Ku lihat sekeliling ku, penuh sesak dengan orang – orang yang baru datang, dan orang – orang yang keluar dari kerumunan karena ada keperluan genting. Tapi sesosok wanita mendekati ku, mencoba menyapa ku, dan membuat suasana menjadi berubah. Senyum ku bagaikan layar terkembang, melebar penuh makna kebahagaiaan. Sebelum wanita itu menyapa, aku menyapanya terlebih dulu.

“Hai Eka, Nonton karnaval juga ?”, sambut ku pada sang wanita cantik dan manis yang langsung berdiri tepat di samping ku, lebih dekat dari apa yang kalian bayangkan, tak sedekat otak mesum kalian tentu.

“Hai Fandi, iya, menyempatkan diri di deretan kesibukan yang padat”, sahutnya dengan senyum khas wanita yang ku kenal, wanita yang sudah beberapa waktu ini menjadi wanita yang selalu mengubris kerinduaku, wanita yang sudah menjadi pengisi untuk beberapa ruang kosong yang di atasnya terdapat papan putih bertuliskan CINTA.

Dia bukan pacar ku, ia hanya teman dekat, teman yang lebih dari sekedar teman, teman yang saling paham rasa satu dengan lainnya, sebuah pertemanan baginya, tapi bagiku mungkin lebih dari itu.

“Itu yang nampil, kebetulan dari suku mu kan ? asik tau, kamu gak pengen ikutan nari juga ? entar aku yang main musik, tapi karena aku gak bisa main musik etnic mu, ya udah, aku bantu siul – siul aja. Gimana ?”, ini yang biasa ku lakukan kalau bertemu dengannya, berbicara ngawur sampai buat dia ketawa.

Seperti biasa, tawa itu yang buat ku rindu, buat ku selalu ingin bersama dia, tawa yang selalu di iringi kata “Apa sih !!!”, seolah pertanda candaan ku garing, tapi buat melting suasana.

Kami lalu meninggalkan keramaian itu, dan sedikit menjauh dari tempat tersebut. Semua terjadi tanpa komando, kami benar – benar saling melangkahkan kaki meninggalkan tempat dengan sendiri. Ini memang aneh, tapi itu kenyataan.

Kami berhenti di bawah pohon rindang yang di bawahnya terdapat kursi kayu yang biasa ada di warung kopi, kursi itu tidak sendiri, di sana ada seorang paklek bakso sedang mangkal menunggu para penonton karnaval kelaparan dan datang ke tempatnya untuk sekedar mengelabui kondisi perut mereka dengan kalimat ‘kenyang’.

Kami berdua duduk, dan memesan masing – masing satu mangkok bakso. Kami sering melakukan ini, karena kebetulan kami sama – sama suka makan bakso, kalau ada waktu luang, biasanya kami saling janjian untuk bertemu di warung bakso, atau kalau kami punya lebih waktu luang, kami akan touring dan mencoba satu – satu warung bakso yang belum pernah kami cicipi.

Sembari menunggu, ku buka obrolan ku dan ku tanyakan satu pertanyaan yang menjadi ganjalan ku beberapa hari ini. “Kamu sibuk banget ya Ka ?”

“Iya Fan, jadi pengurus kesehatan pas hari kesehatan Nasional kaya minggu ini di kampus bukan hal yang gampang, musti datang pagi jam 5, dan harus pulang jam 7 malam, sampe rumah badan ku udah gak bisa lagi buat aktifitas, biarpun pegang HP Fan. Maaf yo, ngak ada kasi kabar, hehehe”, ujarnya membuat ku tenang.

Aku hanya butuh jawaban itu, meski benar atau tidak aku tidak peduli, walaupun mungkin tidak menghubungi ku itu bukan hal yang wajib, karena kami memang bukan apa – apa, kami hanya teman, tapi seolah kami punya satu kebiasaan untuk saling berkomunikasi saja setiap saat. Jadi ketika seperti saat ini dia tak ada kabar, harus ada yang berkata maaf, padahal sebenarnya tidak perlu, tapi entahlah, ini aneh untuk ku.

“Ka !”

“Iya Fan !”

“Kira – kira lebay ngak ya ? kalau aku bilang aku kangen sama kamu ?”

“Helehhhh, biasa aja Fan,  lagian ketemu sama aku terus ngak bosen apa ?”

“Kalau aku ya ngak bosen Ka.... Tapi kalau pertanyaan itu ku balik gimana ? kamu bosen ngak sama aku ?”

Eka tak menjawab, dia berdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kondisi dia berpikir harus di potong oleh si paklek bakso yang datang dengan dua mangkok bergambar ayam miliknya. Tapi entah kenapa, sang paklek membawa dua mangkok itu dengan isi yang sangat di luar dugaan, mangkok itu tak berisi bakso, melainkan berisi soto Lamongan, ini yang membuat ku berpikir keras, apa yang salah dari semua ini, sampai akhirnya semua terlihat bias, hilang meneropong jauh ke alam lain, dan membuat mata ku terbuka perlahan.

Ku tatap jam dinding di kamar kecil ku, ku lihat masih jam setengah empat subuh, jam luar biasa untuk mimpi yang sangat indah. Aku langsung meraba mencari – cari HP yang biasa ku letakkan di bawah bantal sisi kanan ku. Ku buka kunciannya dan ku masuk melihat Blackberry Mesangger di dalamnya, ku lihat obrolan paling atas ku, dan ku temui obrolan ku dengan Eka hanya menyisakan pesan ku mengucapkan selamat beristirahat dengan simbol ‘D’ tanpa di baca dan di balas.

Situasi yang sama dua hari ku alami belakangan, dan dua hari sebelumnya sedikit lebih perih lagi. Pesan ku di baca, tapi tak ada jawabannya.

Ternyata benar kata orang, apa yang di pikirkan sebelum tidur, itulah yang akan muncul di kala tidur, luar biasa. :-D

Nampaknya sekarang aku sudah benar – benar terserang penyakit rindu, berulang – ulang setiap jam di kala siang ku buka obrolan BBM ku dan tak ku dapatkan apa yang ku mau, aku setia menunggu, membuka instagramnya menunggu ia upload foto untuk setidaknya membuat diri ku tenang akan kondisinya, tapi semua tidak ada. Nampaknya dia benar – benar sibuk, aku siap menunggu, karena mungkin ini lah yang akan dia, atau orang lain alami kalau mendapatkan apa yang ku dapatkan saat ini.

Kalau aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, aku ingin menanyakan apa yang ku tanyakan dalam mimpi tadi, pertanyaan yang belum dia jawab.  

- Tamat -