Kulihat
ramai – ramai masyarakat berkumpul di pusat kota menyaksikan karnaval yang
setiap tahun di adakan di kota ku ini, aku menyaksikan penampilan – penampilan musik
etnic yang di padukan dengan tarian daerah yang cukup menghibur. Riuh tawa dan
senyum masyarakat sekitar membuat suasana semakin terlihat gembira.
Aku bersama dengan
kawan ku Jubai menyaksikan betapa asiknya karnaval tersebut, meski hanya dari
jauh karena hampir semua masyarakat mengelilingi panggung kecil yang tak terlihat
seperti panggung itu, memuji betapa hebatnya orang – orang ini, meski mungkin
mereka tak pernah menginjakkan kaki di sekolah tinggi ilmu musik sekalipun. Sepertinya
musik sudah menjadi jiwa mereka.
Aku ada di barisan
lingkaran paling luar bersama Jubai, ia terlihat antusias, mungkin karena cita –
citanya yang ingin jadi pemain musik tapi tidak pernah kesampaian membuat dia
seantusias itu. Aku juga suka dengan suasana ini, tapi ada sesuatu yang
mengganjal di hatiku, sesuatu yang membuat suasana di sini terasa ada yang
beda, keramaian ini membuat ku merasa membohongi diri yang lagi tidak kondusif
untuk hal se asik ini.
Sesuatu itu mengganjal
terus, meski sudah beberapa kali ku coba usir untuk melupakannya sejenak. Tapi
dia bagaikan sebuah benda yang terpatri kuat karena lem Korea, aku juga
binggung sendiri jadinya.
Ku lihat Jubai makin
antusias dan tak menggubris sahabat yang ada di sampingnya ini, dia seolah
memiliki dunia sendiri, mencoba masuk ke dalam kerumunan yang padat itu, dan
memanfaatkan badan kecilnya untuk bisa menerobos dan berdiri di barisan paling
depan. Aku sudah tidak punya tenaga dan kemauan seperti itu, jadi ku biarkan
dia sendiri maju, dan aku masih di tempat awal ku.
Ku lihat sekeliling ku,
penuh sesak dengan orang – orang yang baru datang, dan orang – orang yang
keluar dari kerumunan karena ada keperluan genting. Tapi sesosok wanita
mendekati ku, mencoba menyapa ku, dan membuat suasana menjadi berubah. Senyum
ku bagaikan layar terkembang, melebar penuh makna kebahagaiaan. Sebelum wanita
itu menyapa, aku menyapanya terlebih dulu.
“Hai Eka, Nonton
karnaval juga ?”, sambut ku pada sang wanita cantik dan manis yang langsung
berdiri tepat di samping ku, lebih dekat dari apa yang kalian bayangkan, tak
sedekat otak mesum kalian tentu.
“Hai Fandi, iya,
menyempatkan diri di deretan kesibukan yang padat”, sahutnya dengan senyum khas
wanita yang ku kenal, wanita yang sudah beberapa waktu ini menjadi wanita yang
selalu mengubris kerinduaku, wanita yang sudah menjadi pengisi untuk beberapa ruang
kosong yang di atasnya terdapat papan putih bertuliskan CINTA.
Dia bukan pacar ku, ia
hanya teman dekat, teman yang lebih dari sekedar teman, teman yang saling paham
rasa satu dengan lainnya, sebuah pertemanan baginya, tapi bagiku mungkin lebih
dari itu.
“Itu yang nampil,
kebetulan dari suku mu kan ? asik tau, kamu gak pengen ikutan nari juga ? entar
aku yang main musik, tapi karena aku gak bisa main musik etnic mu, ya udah, aku
bantu siul – siul aja. Gimana ?”, ini yang biasa ku lakukan kalau bertemu
dengannya, berbicara ngawur sampai buat dia ketawa.
Seperti biasa, tawa itu
yang buat ku rindu, buat ku selalu ingin bersama dia, tawa yang selalu di
iringi kata “Apa sih !!!”, seolah pertanda candaan ku garing, tapi buat melting
suasana.
Kami lalu meninggalkan
keramaian itu, dan sedikit menjauh dari tempat tersebut. Semua terjadi tanpa
komando, kami benar – benar saling melangkahkan kaki meninggalkan tempat dengan
sendiri. Ini memang aneh, tapi itu kenyataan.
Kami berhenti di bawah
pohon rindang yang di bawahnya terdapat kursi kayu yang biasa ada di warung
kopi, kursi itu tidak sendiri, di sana ada seorang paklek bakso sedang mangkal
menunggu para penonton karnaval kelaparan dan datang ke tempatnya untuk sekedar
mengelabui kondisi perut mereka dengan kalimat ‘kenyang’.
Kami berdua duduk, dan
memesan masing – masing satu mangkok bakso. Kami sering melakukan ini, karena
kebetulan kami sama – sama suka makan bakso, kalau ada waktu luang, biasanya
kami saling janjian untuk bertemu di warung bakso, atau kalau kami punya lebih
waktu luang, kami akan touring dan mencoba satu – satu warung bakso yang belum
pernah kami cicipi.
Sembari menunggu, ku
buka obrolan ku dan ku tanyakan satu pertanyaan yang menjadi ganjalan ku beberapa
hari ini. “Kamu sibuk banget ya Ka ?”
“Iya Fan, jadi pengurus
kesehatan pas hari kesehatan Nasional kaya minggu ini di kampus bukan hal yang
gampang, musti datang pagi jam 5, dan harus pulang jam 7 malam, sampe rumah
badan ku udah gak bisa lagi buat aktifitas, biarpun pegang HP Fan. Maaf yo,
ngak ada kasi kabar, hehehe”, ujarnya membuat ku tenang.
Aku hanya butuh jawaban
itu, meski benar atau tidak aku tidak peduli, walaupun mungkin tidak
menghubungi ku itu bukan hal yang wajib, karena kami memang bukan apa – apa,
kami hanya teman, tapi seolah kami punya satu kebiasaan untuk saling
berkomunikasi saja setiap saat. Jadi ketika seperti saat ini dia tak ada kabar,
harus ada yang berkata maaf, padahal sebenarnya tidak perlu, tapi entahlah, ini
aneh untuk ku.
“Ka !”
“Iya Fan !”
“Kira – kira lebay ngak
ya ? kalau aku bilang aku kangen sama kamu ?”
“Helehhhh, biasa aja
Fan, lagian ketemu sama aku terus ngak
bosen apa ?”
“Kalau aku ya ngak
bosen Ka.... Tapi kalau pertanyaan itu ku balik gimana ? kamu bosen ngak sama
aku ?”
Eka tak menjawab, dia
berdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kondisi dia berpikir harus di
potong oleh si paklek bakso yang datang dengan dua mangkok bergambar ayam
miliknya. Tapi entah kenapa, sang paklek membawa dua mangkok itu dengan isi
yang sangat di luar dugaan, mangkok itu tak berisi bakso, melainkan berisi soto
Lamongan, ini yang membuat ku berpikir keras, apa yang salah dari semua ini,
sampai akhirnya semua terlihat bias, hilang meneropong jauh ke alam lain, dan membuat
mata ku terbuka perlahan.
Ku tatap jam dinding di
kamar kecil ku, ku lihat masih jam setengah empat subuh, jam luar biasa untuk
mimpi yang sangat indah. Aku langsung meraba mencari – cari HP yang biasa ku
letakkan di bawah bantal sisi kanan ku. Ku buka kunciannya dan ku masuk melihat
Blackberry Mesangger di dalamnya, ku lihat obrolan paling atas ku, dan ku temui
obrolan ku dengan Eka hanya menyisakan pesan ku mengucapkan selamat
beristirahat dengan simbol ‘D’ tanpa di baca dan di balas.
Situasi yang sama dua
hari ku alami belakangan, dan dua hari sebelumnya sedikit lebih perih lagi.
Pesan ku di baca, tapi tak ada jawabannya.
Ternyata benar kata
orang, apa yang di pikirkan sebelum tidur, itulah yang akan muncul di kala
tidur, luar biasa. :-D
Nampaknya sekarang aku
sudah benar – benar terserang penyakit rindu, berulang – ulang setiap jam di
kala siang ku buka obrolan BBM ku dan tak ku dapatkan apa yang ku mau, aku
setia menunggu, membuka instagramnya menunggu ia upload foto untuk setidaknya
membuat diri ku tenang akan kondisinya, tapi semua tidak ada. Nampaknya dia
benar – benar sibuk, aku siap menunggu, karena mungkin ini lah yang akan dia,
atau orang lain alami kalau mendapatkan apa yang ku dapatkan saat ini.
Kalau aku punya
kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, aku ingin menanyakan apa yang ku
tanyakan dalam mimpi tadi, pertanyaan yang belum dia jawab.
- Tamat -
Mungkin sedikit saran dari saya, ada baiknya dalam satu kalimat tidak terlalu panjang. Sehingga pembaca bisa membaca satu kalimat dengan ada jeda. Kalau pun satu kalimat panjang seperti di atas, bisa di siasati dengan di bagi menjadi dua kalimat .
ReplyDeletesalam kenal ya
wah, terima kasih sarannya :), tapi maksudnya satu kalimat panjang itu yang mana ya ? hehe, kebetulan say ngak paham. Mohon bantuannya, :)
DeletePandu, ini Asri . Aku kemarin reboot hpku jadinya hilang kontak sama peserta2 BKKBN. Syukur masih ada alamat blog Pandu. Ini no. hpku : 081355676594. Tolong tambahkan aku k grup yah. Merindukan kalian semua.
ReplyDelete