https://img1.etsystatic.com
Satu
hal yang bisa saya syukuri saat ini adalah dapat terlahir di keluarga yang
menyenangkan. Saya suka menyebutnya dengan keluarga enjoyable (tapi lebih enak ngucapinnya jadi enjoytebel, Sound-nya
lebih dapet gitu ketimbang enjoyable).
Keluarga yang menjalani kehidupan dengan ke-selow-an
tingkat akut. Artinya nggak berlebih-lebihan juga sih, tapu nggak kurang-kurang
banget.
Kalau
masih belum bisa menggambarkan se-enjoytebel
apa keluarga saya, coba deh bayangin. Bapak saya adalah orang yang cool banget. Doi kalau mau keluar rumah
harus mikir pake baju apa. Bahkan sampai ngalah-ngalahin anaknya sendiri. Doi
bisa bolak-balik kamar untuk ngecek bajunya pas apa nggak, warnanya cocok apa
nggak, atau bajunya udah dipake nggak pas di-event
sebelumnya atau belum. Sebagian orang mungkin akan berpikir, “seribet itu yak?”
Tapi di sisi kami sebagai keluarganya, itu adalah ke-enjoytebel-an yang jarang orang lain miliki. Setidaknya, bapak
saya nggak tua untuk urusan fashion.
Kurang
enjoytebel? Oke saya tambahin.
Saya
udah hampir 22 tahun jadi anak beliau. Selama 22 tahun itu pula, saya bisa hitung
pake jari kapan aja dia marah sama saya. Pakai jari loh ya ngitungnya. Jari
tangan gitu, nggak jari Naruto yang pake jurus bayangan, jadi banyak. Literally
jari manusia, jadi cuma sepuluh. Saking sedikitnya dia marah, mungkin sepuluh
jari itu sebagiannya ada yang nganggur dan luntang-lantung nyari wifi gratisan di cafe.
Beliau
bener-bener menjadi bapak yang lebih suka menganggap anak-anaknya sebagai
seorang teman. Ia mengajarkan kepada kami tentang cara menghargai orang lain
dengan meninggalkan dulu egoisme diri dan kalau bisa melepaskan amarah di
kepala. Enjoytebel kan?
Oke,
itu bapak. Gimana kalau mamak saya (panggilan untuk ibu di keluarga kami).
Sebagai
informasi, saya adalah partner-nya mamak
saya dalam urusan masak-memasak. Waktu kami lagi masak, banyak yang biasanya kami
obrolkan. Obrolannya apa saja, semua hal bahkan. Artis tv, orang sekitar, sekolah
adek-adek, bahkan sampai ke sinetron yang ditontonnya tadi malam. Sebagian
topik yang biasa diangkatnya mungkin tidak begitu familiar di telinga saya
(terlebih soal sinetron), tapi jujur menyenangkan bisa punya mamak yang bisa diajak
cerita bareng kaya gitu. Karena saya percaya kalau nggak semua orang bisa punya
mamak yang se-obrolable kaya mamak
saya.
Kurang
enjoytebel?
Ok,
saya punya dua adek. Saya dengan adek saya yang pertama, punya perbedaan umur
di angka 7 tahun. Kemudian saya dengan adek saya yang kedua punya perbedaan
umur di angka 14 tahun. Dari jarak umur kami aja, udah bisa kebayang seberapa
lengkap dan enjoytebel apa keluarga
kami kan? Intinya, keluarga kami adalah keluarga yang lengkap dengan adanya
yang tua sampai yang masih sangat muda. Perbedaan umur itulah yang membuat kami
saling belajar untuk menghormati juga belajar untuk saling menghargai.
Kenapa
sih kok saya pengen banget ngasi tau bagaimana ke-enjoytebel-an keluarga ini?
Sejujurnya,
ada satu hal yang membuat saya berpikir belakangan. Sesuatu yang membuat
akhirnya saya dapat bersyukur karena telah dilahirkan di keluarga ini. Walaupun
di satu sisi sendiri, saya paham benar tentang banyaknya kekurangan dari
keluarga saya.
Keluarga
saya adalah keluarga yang terbilang sederhana stadium agak gawat. Dirundung
permasalahan yang berkenaan dengan uang, rasanya cukup biasa. Keluarga kami
bukanlah keluarga yang dilimpahi kemewahan. Bisa punya motor saja, udah alhamdulillah.
Tapi,
seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya benar-benar sangat bersyukur bisa
lahir di keluarga saya saat ini. Keluarga yang mengajarkan saya cara dan arti dari
kesederhanaan, menghargai hidup, dan menghargai orang lain. Saya bersyukur
tidak lahir di keluarga kaya dan sombong. Keluarga yang mungkin akan membuat
saya menjadi berprilaku demikian juga.
Saya
bersyukur tidak lahir di keluarga keras yang mungkin akan membuat saya keras
juga dan ujung-ujungnya susah untuk bisa menghargai orang lain dengan
kelembutan. Saya bersyukur sudah bisa lahir di keluarga yang biasa-biasa aja. Keluarga
yang enjoy-nya tebel banget (baca: enjoytebel).
Kenapa
begitu?
Karena
saya pengen ngasi tau, kalau mungkin kata-kata orang yang bilang bahwa buah itu
tidak akan jatuh jauh dari pohonya, sebenarnya bener. Atau mungkin seperti
pepatah orang barat yang bilang “lek
pader lek san” yang artinya seperti apa bapakmu ya seperti itulah anaknya.
(oke,
sampai situ bicarain soal keluarganya. Entar kita sambungin ke yang berikutnya)
*
Saya
sadar (dan mungkin dari dulu emang sudah sadar), hidup tidaklah bisa dijalani
dengan sendirian. Kita adalah makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan
orang lain, dan ketika kita akan berinteraksi dengan orang lain, maka orang
lain itu akan menuntut kita untuk bisa menghargai mereka selayaknya manusia
biasa.
Kenapa
saya bilang seperti itu? Coba deh pikirin. Kita tidak akan pernah suka kalau
tiba-tiba diteriakin orang dan dimaki-maki dengan kasar kan? Jangankan dimaki deh,
diajak ngomong dengan suara yang tinggi aja, saya pribadi nggak suka. Menurut
saya, orang-orang yang seperti itu, kayak
nggak bisa menghargai orang lain sebagai lawan bicaranya. Tapi nada tinggi
ini bukan karena didasarkan atas suku atau budaya loh ya. Bahkan suara tinggi yang disebabkan oleh budaya atau suku biasanya
akan lebih sopan di telinga saya ketimbang orang lain yang sebenarnya nggak
punya riwayat suku dengan suara berbicara yang tinggi, tapi pas lagi ngomong
suaranya ditinggi-tinggiin kaya orang sok-sokan.
Sok keren, sok kaya, sok buntut, sok jamur, sok buah, pokoknya sok-sok yang lainnya.
Beruntunglah
saya lahir di keluarga saya yang sekarang (kaya ada keluarga yang dulu aja). Keluarga
yang mengajarkan kepada saya tentang keramahtamahan. Tidak ada teriakan-teriakan
yang sering berkumandang di rumah.
Belakangan,
saya salut sama bapak saya. Betapa kuatnya bapak saya dalam menahan amarah biar
anak-anaknya tau kalau dia orang yang sabar banget, terus berharap kalau
anaknya bisa jadi anak yang sabar banget juga. Saya tahu benar kalau bapak saya
nggak mau anak-anaknya jadi orang yang menomor satukan amarah dan akhirnya
tidak bisa menghargai orang lain. Dengan ke-enjoytebel-an
itulah semua dapat tercapai.
Alhamdulillah, saya diajarkan dengan orang tua saya untuk dapat
menjadi pribadi yang tidak manja, bukan dengan cara meneriakkan, “Kamu jangan
manja” sambil mukul pake tangan atau dengan nada yang kasar. Tapi mereka
mengajarkan kepada saya dan adik-adik saya untuk dapat menjadi pribadi yang tidak
manja dengan cara menikmati hidup yang rumit melalui cara bersyukur.
Saya
jujur kasihan dengan teman-teman saya yang tidak bisa lahir di keluarga yang
saya hidupi saat ini. Saya yakin hidup mereka berat banget. Saya nggak bisa
ngebayangi gimana mereka mencari ke-enjoy-an
di keluarga yang seperti itu. Tapi ada satu kesalahan pribadi yang harusnya
temen-temen saya (yang pinya keluarga keras)
pahami.
Terkadang
mereka malah terkesan menjadi orang yang tidak terbuka dengan keadaan di luar.
Tidak siap menghadapi keheterogenan masyarakat. Dimana Ujung-ujungnya malah
membuat mereka tidak bisa menghargai orang lain.
Mereka
seakan lupa kalau mereka nggak akan pernah bisa diterima siapa-siapa, kalau
mereka sendiri belum bisa menghargai sesama.
Menghargai
yang seperti apa sih?
Tentu
saja menghargai dengan cara tidak berbicara menggunakan suara tinggi (baca:
membentak), penuh maki-maki, atau selalu merasa hebat sehingga redaksi yang
dikeluarkan oleh alat ucap pun terkesan menindas orang lain. Karena percayalah,
jika masih seperti itu, tidak akan pernah ada yang menerima kita dengan baik
sebagai teman atau tetangga. Kembali seperti pertanyaan saya yang sebelumnya. Siapa
yang suka dibentak dan suka dikata-katain kasar? Nggak ada.
Saya
sendiri sadar sebenarnya. Andai kan saya ada di posisi mereka, mungkin saya pun
akan sulit untuk mengubah keadaan keluarga yang keras. Tapi saya tahu,
sebenarnya kita punya kesempatan untuk mengubah walaupun berangkat awalnya
memang harus dari diri kita sendiri terlebih dulu.
Namanya
juga mengawali dari diri sendiri, ya berarti tahap awalnya harus ada koreksi
diri. Tentu saja cara mengoreksi dirinya adalah dengan melihat orang-orang di
sekitar, lalu perenungan dan menanyakan berbagai macam pertanyaan ke diri kita
sendiri seperti “Apakah kita sudah tenang menjalani hidup?”
“Masih
banyak yang sakit hati karena mulut saya nggak ya?”
“Tingkah
saya ini di orang lain gimana ya?”
“Berlebihan
nggak ya?”
“Mulut
saya ini kasar nggak sih?”
“Kira-kira
bisa dipakai buat marut keju nggak ya?”
Pokoknya
semua pertanyaan deh. Biar makin dalem ngoreksi dirinya, biar makin dalem juga
perbaikannya.
Jujur
saya kasihan loh sama mereka-mereka
yang hidup dengan cara berbicara yang keras dan kesannya nggak bisa menghormati
atau menghargai orang lain. Kadang-kadang, mereka jadi bahan omongan orang lain
di belakang. Kadang muncul semakin banyak orang yang nge-judge anda sesuatu gara-gara mulut anda sendiri. Kan kita nggak mau
ya misalnya ada orang yang baru kenal anda yang kasar misalnya terus nyari tau
soal anda melalui orang lain. Karena orang lain punya kesan ke anda jelek,
akhirnya temen baru anda men-judge
anda jelek dari omongan orang lain. Kan kita nggak mau tuh sampai ada orang
lain yang ngomong ke orang lain soal anda gini.
“Kau
temanan sama dia kah? Wah, yang sabar aja ya. Kuat-kuatin. Orangnya memang
begitu, susah diubah. Keras. Kuat-kuatin telinga aja sama banyak-banyak istighfar. Doain biar dia cepet-cepet
taubat.”
Jujur,
kalau diri saya pribadi. Ketika ketemu sama orang-orang keras dan banyak omong
kaya gini, saya nggak akan pernah memberikan mereka ruang gerak untuk berada di
ruang lingkup persahabatan saya dengan baik. Karena pertama saya nggak suka
sama orang yang mulutnya nggak sederhana (baca: banyak ngomong), kedua karena
saya nggak mau diri saya terkontaminasi dengan kata-kata yang bernada penuh
kekerasan.
Seperti
yang awalnya saya bilang tadi. Saya hidup dari keramahtamahan kata, makanya
saya sendiri pun tidak suka dibuat risih dengan keangkuh-angkuhan kata.
Kenapa
sih kok saya benci dengan orang yang berkata-kata keras?
Karena
percaya deh. Kalau anda jadi orang
yang keras, yang mati bukan hanya kata-kata anda, tapi juga hati. Lalu perlahan
anda akan nggak punya cara untuk bisa bersosialisasi dengan baik. Perlahan anda
akan jadi orang yang diacuhkan dan ujung-ujungnya malah hanya akan membuat anda
menjadi orang yang suka cari-cari perhatian karena nggak punya temen. Seperti
hakikatnya manusia deh, nggak ada
orang yang pengen dikerasin, jadi kalau anda keras, ya nggak bakal ada orang
yang mau nemenin.
Konsepnya
sederhana.
Manusiakanlah
orang-orang yang ada di sekitar anda.
Kalau
anda adalah orang yang keras, ya cobalah jadi lembut. Gimana caranya?
Mudah.
Berpikirlah
sebelum berkata-kata. Berkata-kata itu tidak hanya soal berkata-kata aja loh ya. Tapi juga soal nada saat kita
berkata-kata tersebut. Ibaratnya gini, coba deh denger banyak lagu, khususnya
lagu-lagu daerah yang biasanya mendayu-dayu. Bedakan dengan genre lagu yang keras, misalnya rock atau metal. Sekarang, misalkan sebaris lirik yang sama, terus
dinyanyikan dengan dua cara yang berbeda. Satu lembut, satu kasar. Pastilah
yang mendayu-dayu akan lebih ramah telinga ketimbang yang rock atau metal. Tentu
ini terlepas dari orang tersebut mencintai musik metal atau rock loh ya.
Nah, Begitu pun cara kita berbicara. Belajarlah bernada, karena akan ada
saatnya kita berbicara tinggi, namun ada pula saatnya rendah atau datar.
Selain
nada, coba deh anda posisikan diri anda sebagai orang yang anda ajak bicara.
Bayangin, kira-kira anda sakit hati apa nggak dengan omongan yang mau anda
keluarkan itu. Kalau memang anda sakit hati kalau ada orang lain ngucapin
kata-kata yang mau anda ucapkan itu ke anda, berarti anda akan dapat masalah
kalau masih mengeluarkan kata-kata itu ke orang lain sekarang.
Satu
hal yang baru bisa saya simpulkan belakangan, kalau ternyata orang yang
berbicara keras itu sebenarnya orang-orang yang nggak percaya diri loh. Mereka
nggak bisa nutupi rasa malu mereka atau rasa nggak percaya diri mereka dengan
berbicara keras, agar ia bisa mendominasi orang lain, dan akhirnya orang lain
nggak tau kelemahan kita. Woh, sebenarnya salah. Kalau anda berorientasi
seperti itu, anda nggak bener namanya.
Kalau
anda nggak percaya diri atau malu. Coba redam. Caranya sederhana, belajarnya lebih
menghargai sesama, itu saja.
Memang
susah mengubah semua itu, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Intinya
adalah jangan sampai kita pada akhirnya menyalahkan cara asuh orang tua cuma
karena kita akhirnya dijauhi orang orang-orang di luar sana karena sikap kita
sendiri. Kita adalah kita. Kita bisa diajari oleh orang lain, tapi kita sendiri
pun sebenarnya bisa mengajari diri kita sendiri.
Mengubahlah
atau akan tetap jadi seperti itu saja.