Semua tempat menyimpan
begitu banyak harta karun keunikan. Saat kita berpijak di atas trotoar jalan, maka
akan banyak sinematik kehidupan yang dapat kita saksikan di jalan raya. Saat
kita berdiri di jalan raya, maka akan banyak komedi klasik yang dapat kita temukan
di trotoar. Berpindahlah ke atas gedung, maka akan banyak drama klise yang bisa
kita tonton di bawah, begitu pun saat kita berdiri di bawah, maka akan banyak
hal-hal menakjubkan yang dapat kita saksikan di atas sana.
Setiap tempat memiliki
kekhasannya masing-masing, yang secara bertahap baik cepat atau lambat akan
menciptakan kata-kata kerinduan. Begitulah peran suatu tempat diciptakan. Ia
hadir untuk membangun kerinduan-kerinduan yang abadi di masa nanti.
Manunggal Jaya. Desa yang
pelan-pelan maju dengan begitu banyak orang-orang hebat di dalamnya.
Pertama kali menginjakkan
kaki di desa ini, desa yang akan menjadi tempat untuk menggugurkan tugas
sebagai mahasiswa dalam tahap KKN, aku merasa ada di tempat yang tidak pernah
terduga sebelumnya.
Pencarianku selama ini ternyata
ada di sini. Tempat dimana ketenangan bisa terbangun hanya karena alam. Begitu
homogen masyarakat, namun tersatu dengan kesepemahaman mereka tentang artinya
beda, membuatku dekat. Melihat betapa pagi menjadi sibuk untuk bapak, ibu serta
anak, mengingatkanku pada suasana rumah. Lalu hamparan alam yang indah, sawah
hijau dan sawah yang menguning, mengingatkanku pada alam dimana mbah dan
keluarga-keluarga kecilku hidup di pulau Jawa sana.
Senyum demi senyum
masyarakat saat kami pertama kali menginjak kaki di desa ini, membuatku paham,
beginilah arti dari menyambut dan menyamakan diri dengan siapa saja. Satu
persatu kami temui keluarbiasaan penduduk-penduduk. Ada yang begitu familiar di
telinga kami saat berbincang dengan orang-orang luar biasa di sini, “Ayo kita
praktek mas-mbak, teori itu penting, tapi praktek itu sama pentingnya.” Atau
yang lebih familiar lagi, “Hidup itu, jangan terus-terusan pengennya jadi PNS
mas, wirausaha atau punya usaha sendiri.”
Mendengarkan semua itu,
aku lekas teringat oleh kata-kataku sendiri di dua tahun sebelumnya saat
mencoba menyadarkan satu kelompok dalam ruang dimana aku berkompetisi di
ibukota. Aku, seperti mendengarkan ucapanku sendiri yang memang telah
dibuktikan oleh mereka yang memang sudah terbukti. Mendengarkan mereka lagi
adalah semangat tersendiri yang bangkit atas dasar pembuktian yang nyata.
Hidup itu jangan mudah menyerah. Kalau gagal, ya coba
lagi. Gagal lagi, ya coba lagi. Gagal lagi, ya coba lagi. Karena dari kegagalan
itu, kita belajar untuk menemukan kesempurnaan yang memang sejujurnya tidak
pernah hakiki. Namun setidaknya, menyerupai sempurna itu ada.
Begitulah yang bisa
kurangkum dari semua perkataan orang-orang hebat di tempat ini. Jangan kalah dan tolonglah jadi manusia yang
pantang kalah.
Sekarang, waktu
pengabdian hampir habis. Saatnya untuk pulang. Begitu banyak cerita yang akan
tertuang dalam laman-laman yang lain. Begitu banyak kisah dengan sebelas kepala
yang menempati satu rumah. Begitu banyak kisah dengan begitu riuhnya berbagai
masalah dan kesulitan. Atau lain sebagainya yang tentu akan terekam dalam ruang
yang disebut dengan memori yang dapat dirindukan di waktu-waktu nanti.
Intinya, desa ini adalah
desa yang luar biasa. Kelak akan muncul kalimat yang tidak salah bila aku ucapkan.
Aku akan kembali berkunjung, entah
sendiri, bersebelas atau hanya sebagian.
Kawan-kawan sebelas
kepala lainnya. Kita sudah melakukan yang bisa kita lakukan. Cerita tentang
kalian adalah lembaran-lembaran lain yang harus aku uraikan dengan baik di
waktu nanti. Entah tertuang dalam baluran kisah atau dalam baluran frasa-frasa
yang terjatuh di kumpulan-kumpulan kata rindu.
Kita pulang, kita
tinggalkan mereka dengan senyum. Begitupun kita.
0 comments:
Post a Comment