Pages

Labels

Tuesday 29 August 2017

Saatnya Kembali - Desa Manunggal Jaya









Semua tempat menyimpan begitu banyak harta karun keunikan. Saat kita berpijak di atas trotoar jalan, maka akan banyak sinematik kehidupan yang dapat kita saksikan di jalan raya. Saat kita berdiri di jalan raya, maka akan banyak komedi klasik yang dapat kita temukan di trotoar. Berpindahlah ke atas gedung, maka akan banyak drama klise yang bisa kita tonton di bawah, begitu pun saat kita berdiri di bawah, maka akan banyak hal-hal menakjubkan yang dapat kita saksikan di atas sana.

Setiap tempat memiliki kekhasannya masing-masing, yang secara bertahap baik cepat atau lambat akan menciptakan kata-kata kerinduan. Begitulah peran suatu tempat diciptakan. Ia hadir untuk membangun kerinduan-kerinduan yang abadi di masa nanti.

Manunggal Jaya. Desa yang pelan-pelan maju dengan begitu banyak orang-orang hebat di dalamnya.

Pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, desa yang akan menjadi tempat untuk menggugurkan tugas sebagai mahasiswa dalam tahap KKN, aku merasa ada di tempat yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Pencarianku selama ini ternyata ada di sini. Tempat dimana ketenangan bisa terbangun hanya karena alam. Begitu homogen masyarakat, namun tersatu dengan kesepemahaman mereka tentang artinya beda, membuatku dekat. Melihat betapa pagi menjadi sibuk untuk bapak, ibu serta anak, mengingatkanku pada suasana rumah. Lalu hamparan alam yang indah, sawah hijau dan sawah yang menguning, mengingatkanku pada alam dimana mbah dan keluarga-keluarga kecilku hidup di pulau Jawa sana.

Senyum demi senyum masyarakat saat kami pertama kali menginjak kaki di desa ini, membuatku paham, beginilah arti dari menyambut dan menyamakan diri dengan siapa saja. Satu persatu kami temui keluarbiasaan penduduk-penduduk. Ada yang begitu familiar di telinga kami saat berbincang dengan orang-orang luar biasa di sini, “Ayo kita praktek mas-mbak, teori itu penting, tapi praktek itu sama pentingnya.” Atau yang lebih familiar lagi, “Hidup itu, jangan terus-terusan pengennya jadi PNS mas, wirausaha atau punya usaha sendiri.”

Mendengarkan semua itu, aku lekas teringat oleh kata-kataku sendiri di dua tahun sebelumnya saat mencoba menyadarkan satu kelompok dalam ruang dimana aku berkompetisi di ibukota. Aku, seperti mendengarkan ucapanku sendiri yang memang telah dibuktikan oleh mereka yang memang sudah terbukti. Mendengarkan mereka lagi adalah semangat tersendiri yang bangkit atas dasar pembuktian yang nyata.

Hidup itu jangan mudah menyerah. Kalau gagal, ya coba lagi. Gagal lagi, ya coba lagi. Gagal lagi, ya coba lagi. Karena dari kegagalan itu, kita belajar untuk menemukan kesempurnaan yang memang sejujurnya tidak pernah hakiki. Namun setidaknya, menyerupai sempurna itu ada.

Begitulah yang bisa kurangkum dari semua perkataan orang-orang hebat di tempat ini. Jangan kalah dan tolonglah jadi manusia yang pantang kalah.

Sekarang, waktu pengabdian hampir habis. Saatnya untuk pulang. Begitu banyak cerita yang akan tertuang dalam laman-laman yang lain. Begitu banyak kisah dengan sebelas kepala yang menempati satu rumah. Begitu banyak kisah dengan begitu riuhnya berbagai masalah dan kesulitan. Atau lain sebagainya yang tentu akan terekam dalam ruang yang disebut dengan memori yang dapat dirindukan di waktu-waktu nanti.

Intinya, desa ini adalah desa yang luar biasa. Kelak akan muncul kalimat yang tidak salah bila aku ucapkan. Aku akan kembali berkunjung, entah sendiri, bersebelas atau hanya sebagian.

Kawan-kawan sebelas kepala lainnya. Kita sudah melakukan yang bisa kita lakukan. Cerita tentang kalian adalah lembaran-lembaran lain yang harus aku uraikan dengan baik di waktu nanti. Entah tertuang dalam baluran kisah atau dalam baluran frasa-frasa yang terjatuh di kumpulan-kumpulan kata rindu.

Kita pulang, kita tinggalkan mereka dengan senyum. Begitupun kita.

0 comments:

Post a Comment