Satu makhluk yaitu diri. Pada akhirnya memutuskan
hal yang besar. Memutuskan untuk memilih ketika begitu banyak pilihan disaji,
meminta untuk dipikir.
Dulu, tak pernah pilihan itu terpikirkan untuk
terpilih. Bahkan dengan begitu banyaknya pertemuan. Namun, ketepatan dan rasa
nyaman adalah jawaban atas jatuhnya pilihan.
Pilihan bukan berarti tanpa resiko. Semua pilihan
disaji, membawa masing-masing kelebihan dan kekurangan. Membawa masing-masing
pertanyaan dan jawaban. Membawa masing-masing tantangannya. Pada akhirnya ada
pilihan yang terjatuh pada diri. Pada sesuatu insan yang tumbuh tak terbendung
dalam hati.
Diri memutuskan untuk berjalan di atas bumi dengan
sepasang kaki yang ditemani sepasang kaki lainnya. Tapi jalan menujunya bukan
tanpa kabut. Ada begitu banyak hal, orang, yang membiarkan jalan aspal semakin
rusak. Membiarkan jalanan semakin kacau. Tidak ada yang bisa menolak itu.
Setiap pilihan punya hal-hal besar yang harus dilewati. Punya hal-hal besar
yang bahkan memaksa untuk memaksa sepasang kaki satunya membelok dipersimpangan
ketika ujung jalan makin terang, makin nampak.
Kabut di jalan semakin tebal. Bahkan diri selalu
ceroboh dan tidak belajar. Hal-hal besar mengusai dan memburamkan tujuan.
Hal-hal besar memenangi diri dan melupakan bahwa ini tentang insan-insan yang
bertemu dan memutuskan untuk berjalan satu, bukan insan-insan yang menyatu.
Hal-hal besar memang menggoda pikiran. Membenamkan
diri dalam kecerobohan yang mengakibatkan insan lain dibenami amarah. Hal-hal
besar memang harus dikalahkan tapi entah mengapa harus mengalahkannya dengan
hal-hal besar itu harus menang terlebih dulu. Kenapa harus begitu.
Benarkah hal-hal besar seperti musuh-musuh dalam
film superhero. Mereka harus menang, untuk membiarkan superhero-nya mendewasa
dan memperbaiki kelemahan. Baru, musuh akan kalah dengan superhero yang sudah membaik.
Benarkah hal-hal besar sudah merusak dan membiarkan salah satu insannya
membelok dipersimpangan? Apakah sepasang benar-benar telah dikalahkan oleh
hal-hal besar. Apakah pilihan berakhir. Apakah perjalanan tak selesai?
Diri hanya bisa duduk di bawah lembah tanpa lampu.
Matahari bahkan enggan untuk menyinari lembah. Begitu juga bulan yang sinarnya
tak seberapa.
Diri sadar benar bahwa diri telah dikalahkan
betul-betul oleh hal-hal besar. Diri menyadari bahwa hal-hal besar telah
tertawa dan diri saat ini telah kehilangan sesuatu yang disebut pencahayaan.
Diri terjebak. Berteriak untuk yang membelok dipersimpangan agar kembali. Diri
terjebak, dalam membukti yang tak berhasil. Diri menghukum diri dan menyesali.
Diri sekarang sudah tahu wujud asli hal-hal besar.
Diri sadar bahwa selama ini hal-hal besar menguasainya. Diri sudah tidak ingin
hal-hal besar membodohinya lagi. Diri sudah membuang jauh-jauh hal-hal besar.
Diri mencoba kembali di persimpangan. Ditemani
kabut-kabut yang semakin menebal dan menebal. Ujung makin terang, tapi terasa
makin jauh. Diri tetap berdiri di tempat yang membelok di persimpangan
membelokkan diri. Diri tidak tahu, apa ia menjauh begitu jauh atau masih
melihat diri yang berdiri di titik saat yang membelok membelokkan diri.
Diri memutuskan untuk rapuh, kerontang di tempatnya
berdiri. Buat diri, tidak ada lagi kembali ke awal. Membuka lagi bagian buku
pencarian dan kembali mencari. Biarkan diri berada dan dilahap dalam kabut. Menunggu
yang membelok kembali dan memutuskan untuk menuju lagi ujung yang bersinar.
Apakah maaf bisa membuat yang membelok kembali?
Apakah hal-hal besar yang sudah diketahui diri dan
benar-benar ingin dienyahkan dalam perjalanan bisa diketahui oleh yang membelok
di persimpangan? Apakah yang membelok di persimpangan sadar bahwa diri sudah
menyesali kekalahannya pada hal-hal besar semua itu?
Kembali lah...
Kita jalani lagi jalan yang aspalnya rusak dan
berkabut ini, sama-sama.
Diri ingin membukti dan diri ingin mengubah.
Diri ingin membukti bahwa tidak akan ada lagi hal-hal
besar yang sudah terjadi kembali terjadi.
Kembali lah...
Diri adalah hati yang kau ketahui.
Diri adalah tubuh yang kau pahami.
Diri adalah cinta yang berada di sekitar.
Diri adalah aku.
0 comments:
Post a Comment