Dia
terduduk di sofanya yang empuk malam itu, matanya berbinar bukan bahagia. Ia
terlihat letih dengan dasi panjang yang bentuknya sudah tidak karuan lagi.
Seakan dia tidak punya daya untuk bergerak, ia geletakkan badannya di sandaran
sofa dan membenamkan diri, lebih dalam lagi.
Tangan
Suwandi kali hanya bisa memegang sebuah bungkus kaset bajakan di tangannya,
sebuah film action yang memiliki banyak sekali serial, dan yang di tangan
suwandi malam itu adalah serial yang sangat spesial untuknya.
Bukan
karena pemain filmnya yang mirip dengan wajah Suwandi, tapi karena kenangan di
dalam film tersebut.
Suwandi
berdiri, lalu membuka bungkus plastik kaset bajakan itu, dia keluarkan piringan
silver yang ketika kena cahaya, memunculkan bias warna pelangi di dalamnya,
perlahan dia usap, dan mulai ia masukkan kaset itu kedalam dvd playernya.
Suwandi
kembali duduk di sofanya yang tepat berada di depan televisi, dan DVD itu mulai
memainkan film di dalamnya.
Sang
jagoan utama langsung mengawali filmnya tanpa ragu-ragu, dia memanjati sebuah
helikopter milik musuhnya, dan berkelahi diatas sana. Helikopter yang berencana
untuk merusak upacara rakyat Inggris itu, langsung di gagalkan oleh sang tokoh
utama. Ia memukul musuh, menghajar musuh, dan seketika menjatuhkan musuh dari
atas helikopter. Tak ayal sang karakter utama langsung mengambil alih kendali
helikopter, sayang helikopter tak semudah itu dijinakan. Dengan susah payah,
akhirnya helikopter yang nyaris jatuh itu, berhasil kembali terbang dengan
sempurna, dan upacara rakyat Inggris saat itu, telah berhasil di selamatkan.
“Heroik
sekali!!!!!!”, ucap Suwandi, lalu melempar senyum sinis yang langsung memutar
ingatannya saat itu.
Suwandi
ingat dan hapal dengan adegan-adegan itu, ini bukan pertama kalinya Suwandi
menonton film tersebut. Tapi ini kali keduanya, namun dengan kondisi yang jauh
berbeda.
Kala
pertama ia menonton film tersebut, dia tak menonton sendiri, ia ditemani oleh
banyak orang yang juga ingin menyaksikan film tersebut, film yang sangat ditunggu-tunggu
oleh banyak orang saat itu, tapi bukan tentang itu, bukan.
Yang
Suwandi ingat adalah orang yang khusus menemaninya menyaksikan film tersebut.
Suwandi
ingat jelas saat ia datang terlalu cepat ke bioskop, lalu memesan tiket untuk
berdua, dan duduk bersebelahan dengan wanita tersebut. Film baru akan mulai
pukul 15:30, tapi dia sudah membeli tiket pukul 14:00, masih ada satu setengah
jam untuk menunggu.
Suwandi
dan wanita itu lalu pergi keluar area bioskop, dan membeli dua buah waffle,
yang sama-sama berisi coklat, menyembunyikannya dalam tas masing-masing, dan
nanti akan mereka bawa masuk ke dalam bioskop. Tak ada yang tau dan tak ada
yang mau membuka tas kalau kita masuk, kata wanita itu sembari terkekeh menahan
tawanya yang lucu. Dia pun tetap memprotes kebijakan bioskop untuk melarang
para penontonnya membawa makanan dari luar area bioskop ke dalam studio.
Setelah
itu, mereka membeli dua gelas Es Cincau Skotlandia yang kedainya tidak terlalu
jauh dari kedai tempat mereka membeli waffle.
“Es
cincau cappuccino Skotlandia, kalau kamu wan ?”, tanyanya pada Suwandi.
“Aku
samain aja kaya kamu”, jawab Suwandi.
Lalu
mereka menikmati Es Cincau Skotlandia itu sembari mencari tempat duduk, menunggu
film dan ngobrol membahas tentang apa yang mereka minum.
“Eh,
coba deh pikirin. Emang ada ya? Orang Skotlandia bikin cincau? Setau ku, cincau
itu adanya di Indonesia aja”, Tanya Suwandi iseng, sembari membunuh waktu yang
panjang.
“Ya,
mungkin cincau juga pengen sekali-sekali dianggap dari luar negeri, biar keren
dan berkelas, serta di anggap pinter dari cincau-cincau yang ada di Indonesia”,
balas wanita itu makin iseng.
“Padahal,
mau dari Indonesia atau Luar Negeri, kalau tetep enggak mau berkarya, ya ngak
bakal sukses juga. Tapi ini sebenarnya cincau, atau mahasiswa sih?”, mereka lalu
tertawa bersama, meski bagi sebagian orang joke itu tak lucu, tapi siapa yang
boleh mengahalangi cinta? Tidak ada. Karena saat itu, Suwandi telah saling
memadu cinta bersamanya.
Suwandi
mulai kembali menatap kosong adegan demi adegan di film itu, tak ada gairah,
karena sedari tadi otaknya melayang kesana, kepada dirinya yang dulu.
Suwandi
dan wanita itu, berlari buru-buru, karena terlalu asik membahas Es Cincau Skotlandia,
mereka sampai lupa waktu, dan telah telat sepuluh menit. Mereka lari menuju
pintu teater bioskop dan masuk dengan pelan-pelan.
Ruang
bioskop sudah gelap ketika film telah berjalan dengan adegan tokoh utama
merebut helikopter diatas upacara Rakyat Inggris.
“Kayanya
baru mulai deh”, kata Suwadi sembari menarik tas selempang merah dan murah yang
ia beli di pasar malam, lalu di taruhnya di bawah kaki, dan duduk.
“Semoga”,
jawab wanita itu mulai menenangkan diri di atas kursi.
Film
berjalan begitu menarik saat itu, apalagi ketika kepala wanita itu mulai
merapat pada bahu Suwandi, Suwandi menenangkan diri, dan menempelkan kepalanya juga
ke dekat kepala wanita itu. Film action itu seolah berubah menjadi film drama
nan romantis.
Suwandi
terbenam, dan mulai memegang tangan wanita itu. Tak ada yang tahu, dan mungkin
memang tidak ada yang ingin mencari tahu. Sepanjang film, mereka berdua
berpegang telapak tangan, seolah berbicara dalam hati, menyatakan cinta masing-masing.
Ketika
film berjalan biasa saja, wanita itu terbangun dari sandaran nyamannya.
“Oh
iya, kita nyimpen makanan toh, keluarin, kita makan. Sayang tau, di beli, tapi
lupa dimakan”, wanita itu lalu membuka tas kecilnya, dan mengeluarkan sebungkus
kecil kue waffle yang mulai kehilangan hangatnya.
“Aku
lagi males ngeluarin, aku minta punya mu aja, suapin”, kata Suwandi dengan nada
sopan-sopan menggoda.
“Ah,
kamu mah begitu. Ini...”, tangannya lalu menyuapkan sepotong waffle lebih kecil
lagi ke arah mulut Suwandi. Suwandi merasa tenang, itulah cinta yang ia harap,
tak lebih dari itu, itu sudah cukup baginya.
Suwandi
menarik nafas, mengingat seluruh wajah wanita itu, mengingat senyumnya, dan
mengingat betapa lucu wajahnya yang berhias kacamata, Suwandi makin terbenam
dalam sofanya.
Suwandi
sadar, mereka tak bisa menyatu. Dinding tertinggi dalam sebuah cinta menghalangi
apa yang mereka sebut dengan perbedaan.
“Mungkin
hari ini, aku masih akan tetap bisa memegang tangannya”, Suwandi berucap
sendiri dalam duduknya.
Suwandi
merindukan sosok itu, sosok yang kadang jutek namun penuh cinta di dalamnya.
Dan Suwandi juga rindu dikala wanita itu tidak membalas pesan BBM, hampir 2-3
hari lamanya. Suwandi rindu tempat mereka berdua bertemu, di kala sama-sama
menjemput adik masing-masing di sebuah acara camp di Samarinda.
Suwandi
rindu semua itu.
Mereka
tak ingin berpisah, Suwandi mencintai wanita itu, begitupun sebaliknya. Tapi,
berbeda tempat ibadah, itulah masalahnya.
Suwandi
sudah tidak menghiraukan lagi adegan demi adegan di dalam film itu, dia biarkan
film itu berdiskusi sendiri dengan lawan main mereka. Suwandi biarkan film itu
menemui alur mereka sendiri, SUWANDI TIDAK PEDULI.
Tangannya
menjalar ke meja di depan sofanya, tempat ia menaruh bungkus kaset bajakan
tadi. Tangannya mencari-cari sesuatu, dan ia menemukan yang ia cari.
Tangannya
sekarang memegang sebuah kertas tebal warna putih dengan tulisan emas di dalamnya.
Ia melihat kertas itu agak lama, lalu membantingnya dengan sopan di atas meja.
“Mungkin
sudah saatnya aku menghapus ingatanku tentang film ini”, ia lalu menaruh kertas
itu, dan berdiri mematikan seta mengeluarkan DVD film tersebut. Suwandi lalu
dengan sekuat tenaga mematahkan DVD itu, dan memasukkannya di tong sampah,
samping meja TV.
Suwandi
lalu pergi ke kamarnya untuk mulai mencoba beristirahat, meninggalkan bungkus
kaset bajakan itu di atas meja, bersama tas laptop, dan kertas tebal
bertuliskan.
THE WEDDING
HERWIN GUNAWAN & AMEL GAPLY
Terima kasih sudah
membaca, selalu berikan comment dan jangan lupa untuk follow aku pribadi saya
ya..^^
Twitter :
@pandupandaa
Instagram : Pandupandaa