Yang tidak bisa kalian
elak dalam hidup adalah kenyataan bahwa kalian lahir dari rahim seorang ibu dan
ada di dunia atas peran seorang ayah.
Foto di atas adalah foto keluarga
kami. Foto yang dibingkai sendiri dengan bapakku. Bingkai yang terbuat dari papan
kayu yang dilapisi kertas warna kuning tipis lalu di-finishing dengan plastik bening yang biasa dipakai sebagai
pengganti taplak taplak meja makan di rumah-rumah sederhana orang kampung.
Foto itu diambil saat
keluarga kami jumlahnya baru empat. Setelah kami berlima seperti saat ini, nampaknya
belum ada kesempatan (baik waktu atau uang) untuk meng-update-nya dengan personil yang baru (juga wajah-wajah yang
menua).
Foto itu sudah berada di ruang
tamu kurang lebih sepuluh tahun. Aku lupa, apakah posisinya pernah dipindah
atau tidak. Tapi aku yakin sekali, foto itu tak pernah berpindah dari ruang
tamu. Foto itu tetap berada di sana meski set-up
ruang tamu kami mungkin telah beberapa kali berubah. Foto itu tetap akan kembali
berada di sana meski beberapa kali kami turunkan sementara hanya untuk mengganti
warna cat ruang tamu. Foto itu tetap disana, meski dari ruang tamu kami punya
sofa sampai kembali ke sistem lesehan. Foto itu, tetap di sana.
Sebagian orang mungkin berpikir
kalau foto keluarga yang dipasang di ruang tamu itu adalah foto pamer.
Lebih-lebih kalau foto keluarga yang biasanya, ada salah satu yang menggunakan
toga (alias abis lulus kuliah). Sama kaya foto keluargaku itu. Foto yang
diambil selepas bapak menamatkan S1 ekonominya di salah satu perguruan tinggi
swasta di Samarinda. Kalau tidak salah, foto itu diambil saat saya menginjak
kelas empata atau lima SD (maklum udah mulai tua, jadi agak lupa). Foto yang
diambil di salah satu studio foto terkenal (di era-nya) bernama Ampera. Foto yang diambil dengan masih
menggunakan sistem klise. Bahkan studio
foto old school itu sudah hilang
entah kemana. Mungkin pemiliknya kalah bersaing dengan studio-studio foto yang
lebih modern. Studio foto yang di dalamnya pasti punya boneka beruang gede dan
kursi atau lemari warna putih sebagai properti penunjang foto-foto komunitas
atau angkatan kampus. Agak alay, namun
begitulah kenyataan zaman saat ini. Studio foto vintage (tadi old school,
sekarang vintage, sahik ngak bahasa
gue) itu mungkin kalah pamor, tapi bicara kualitas hasil cetak foto, nampaknya masih
bisa bersaing hebat dengan cetakan foto kekinian. Foto itu, sampai saat ini
masih kuat. Mulai agak kurang cerah, luntur, namun tidak begitu ketara. Ia
masih layak berdiri kokoh di ruang tamu dengan berbagai macam kenangan di
dalamnya.
Belakangan. Aku baru
sadar sesuatu hal. Nampaknya orang tuaku memasang foto itu di ruang tamu bukan
soal pamer semata, tapi ada sesuatu yang berusaha mereka sampaikan. Apa itu? Coba
kita pikirkan tempat mereka menaruhnya.
Ruang tamu. Ruang yang
paling dekat dengan pintu keluar. Ruang yang paling pertama menyapa kalau kita
mau masuk ke dalam rumah. Ruang yang kadang jadi tempat kami bersalaman saat
pulang dari sholat Idul Fitri. Ruang
yang dapat membuktikan eksistensi keluaga kami saat sedang ada tamu yang berkunjung.
Memang, mereka berdua
tidak memberi tahu kami anak-anaknya soal penting dari foto-foto yang
dipajangnya di ruang tamu itu. Namun mereka hanya berusaha mengingatkan bahwa
itu adalah selembar pengingat. Lewat foto itu, bapak dan mamak (biasa kami memanggil
ayah dan ibu) berusaha mengingatkan kami soal tempat kembali. Foto yang
memberitahukan kami soal kenyataan bahwa sesedih
atau sebahagia apapun hidup, kau punya tempat untuk menceritakannya.
Foto itu memang sengaja ditaruh
di ruang tamu. Saat kami ingin pergi, kami tentu akan melihatnya. Fungsinya
sederhana, foto itu adalah ungkapan pesan dari mamak dan bapak. “Hati-hati di
jalan, kau baru meninggalkan keluargamu. Kembalilah dengan selamat.” Ketika
pulang, foto itu juga akan pertama kali menyapa dan kembali mengucapkan pesan
“Selamat datang, akhirnya kau pulang.”
Setidaknya, foto itu
adalah penghalang terakhir kalau-kalau ada salah satu dari kami ingin
meninggalkan keluarga ini. Foto itu akan jadi penghalang terakhir yang
buru-buru meneriaki ilham kami. “Kau ingin pergi? Kau lupa darimana kau
berasal? Kau lupa kau punya tawa yang kau buat di rumah ini? Kau ingin
meninggalkan dan menghapus semua itu? Apa ini kau?”
Foto itu bukan sekedar
foto keluarga. Foto itu adalah foto yang mengingatkan kami sekeluarga atas
apapun yang terjadi.
Percaya atau tidak.
Belakangan foto itu yang punya peran besar soal penyelesaian masalah yang pribadi
aku alami. Foto itu jadi pengingat tentang berbagai hal. Tentang
kebodohan-kebodohan. Tentang lupanya aku, soal mengapa hidup di dunia. Foto itu
yang menenangkan ego ini. Foto yang membuat aku paham untuk bisa pelan dalam
menghadapi hidup.
Aku bersyukur. Mamakku
memasang foto itu di ruang tamu. Sewaktu-waktu, ketika kami butuh jawaban. Kami
bisa ke ruang tamu dan melihat foto itu untuk menjadikannya sebagai salah satu
pertimbangan dan alasan.
Sebegitu pentingkah
keluarga untukku?
Bahkan mungkin bisa saya
jawab dengan frasa “Sangat-sangat penting”.
Keluarga bagiku bukan
hanya soal ikatan bapak, ibu, kakak, atau adik. Keluarga bagiku adalah alasan
utama kenapa tubuh dan isi-isi di dalamnya ini, turun ke dunia. Belakangan,
keluarga jadi bahan pikiranku.
Banyak orang di luar sana
yang bilang kalau mereka sayang orang tua mereka. Sayang kakak dan adik mereka.
Namun rasa sayang itu semua tiba-tiba luntur hanya karena rasa sayangnya pada
manusia baru yang awalnya tidak ia kenal.
Benar. Mencintalah dengan sederhana, karena yang
istimewa hanya cinta seorang ibu dan bapak pada anaknya yang tidak pernah kenal
kata putus.
Jika kalian memang bilang
kalau kalian sayang pada ibu. Tapi kenapa? Kenapa kalian meninggalkan tugas,
mengabaikan kewajiban, tidak makan, menyiksa diri hanya karena dilukai oleh
orang yang bukan siapa-siapamu awalnya. Begitukah caramu menunjukkan rasa
sayang pada orang yang melahirkanmu? Dengan menyia-nyiakan kesempatan dan buah
keringat bapak-ibu untukmu yang malah happy-happy
atau bersedih-sedih ria karena orang lain yang mungkin kau sebut dengan kata
“cinta sejati”. Orang yang sejujurnya baru mengenalmu beberapa minggu, bulan
atau tahun. Jelas tidak lebih lama dari kedua orang tuamu.
Memang benar. Kelak,
sebagai anak, kita akan jadi seorang ayah atau ibu selanjutnya. Namun sebelum
kalian menyentuh semua itu. Mencintalah
dengan sederhana. Redam ego dan lihat foto keluargamu di ruang tamu (atau
mungkin di ruang-ruang lainnya). Tak
selamanya apa yang kau pikir harus kau dapatkan, akan kau dapatkan. Terkadang,
apa yang tidak kau dapatkan adalah cara Tuhan untuk mengingatkanmu bahwa kau
punya orang yang wajib kau banggakan. Iya, mereka yang sedang kau lihat
dalam foto keluarga yang terpajang di ruang tamu.
Keluarga adalah sebaik-baiknya
tempat bersandar. Bagaimanapun orang-orang lain di luar sana menolak
keberadaanmu, keluarga akan tetap membuka tangan dengan lebar untuk memeluk
sedihmu. Memang, kelak kau akan meninggalkan mereka dan membangun keluargamu
sendiri. Tapi benarkah kau ingin meninggalkan mereka sebelum mereka bilang di
dalam hati, “Anakku sudah sukses saat ini.”
Terima kasih.
0 comments:
Post a Comment