Pages

Labels

Tuesday, 25 April 2017

Foto Keluarga



Yang tidak bisa kalian elak dalam hidup adalah kenyataan bahwa kalian lahir dari rahim seorang ibu dan ada di dunia atas peran seorang ayah.

Foto di atas adalah foto keluarga kami. Foto yang dibingkai sendiri dengan bapakku. Bingkai yang terbuat dari papan kayu yang dilapisi kertas warna kuning tipis lalu di-finishing dengan plastik bening yang biasa dipakai sebagai pengganti taplak taplak meja makan di rumah-rumah sederhana orang kampung.

Foto itu diambil saat keluarga kami jumlahnya baru empat. Setelah kami berlima seperti saat ini, nampaknya belum ada kesempatan (baik waktu atau uang) untuk meng-update-nya dengan personil yang baru (juga wajah-wajah yang menua).

Foto itu sudah berada di ruang tamu kurang lebih sepuluh tahun. Aku lupa, apakah posisinya pernah dipindah atau tidak. Tapi aku yakin sekali, foto itu tak pernah berpindah dari ruang tamu. Foto itu tetap berada di sana meski set-up ruang tamu kami mungkin telah beberapa kali berubah. Foto itu tetap akan kembali berada di sana meski beberapa kali kami turunkan sementara hanya untuk mengganti warna cat ruang tamu. Foto itu tetap disana, meski dari ruang tamu kami punya sofa sampai kembali ke sistem lesehan. Foto itu, tetap di sana.

Sebagian orang mungkin berpikir kalau foto keluarga yang dipasang di ruang tamu itu adalah foto pamer. Lebih-lebih kalau foto keluarga yang biasanya, ada salah satu yang menggunakan toga (alias abis lulus kuliah). Sama kaya foto keluargaku itu. Foto yang diambil selepas bapak menamatkan S1 ekonominya di salah satu perguruan tinggi swasta di Samarinda. Kalau tidak salah, foto itu diambil saat saya menginjak kelas empata atau lima SD (maklum udah mulai tua, jadi agak lupa). Foto yang diambil di salah satu studio foto terkenal (di era-nya) bernama Ampera. Foto yang diambil dengan masih menggunakan sistem klise. Bahkan studio foto old school itu sudah hilang entah kemana. Mungkin pemiliknya kalah bersaing dengan studio-studio foto yang lebih modern. Studio foto yang di dalamnya pasti punya boneka beruang gede dan kursi atau lemari warna putih sebagai properti penunjang foto-foto komunitas atau angkatan kampus. Agak alay, namun begitulah kenyataan zaman saat ini. Studio foto vintage (tadi old school, sekarang vintage, sahik ngak bahasa gue) itu mungkin kalah pamor, tapi bicara kualitas hasil cetak foto, nampaknya masih bisa bersaing hebat dengan cetakan foto kekinian. Foto itu, sampai saat ini masih kuat. Mulai agak kurang cerah, luntur, namun tidak begitu ketara. Ia masih layak berdiri kokoh di ruang tamu dengan berbagai macam kenangan di dalamnya.

Belakangan. Aku baru sadar sesuatu hal. Nampaknya orang tuaku memasang foto itu di ruang tamu bukan soal pamer semata, tapi ada sesuatu yang berusaha mereka sampaikan. Apa itu? Coba kita pikirkan tempat mereka menaruhnya.

Ruang tamu. Ruang yang paling dekat dengan pintu keluar. Ruang yang paling pertama menyapa kalau kita mau masuk ke dalam rumah. Ruang yang kadang jadi tempat kami bersalaman saat pulang dari sholat Idul Fitri. Ruang yang dapat membuktikan eksistensi keluaga kami saat sedang ada tamu yang berkunjung.

Memang, mereka berdua tidak memberi tahu kami anak-anaknya soal penting dari foto-foto yang dipajangnya di ruang tamu itu. Namun mereka hanya berusaha mengingatkan bahwa itu adalah selembar pengingat. Lewat foto itu, bapak dan mamak (biasa kami memanggil ayah dan ibu) berusaha mengingatkan kami soal tempat kembali. Foto yang memberitahukan kami soal kenyataan bahwa sesedih atau sebahagia apapun hidup, kau punya tempat untuk menceritakannya.

Foto itu memang sengaja ditaruh di ruang tamu. Saat kami ingin pergi, kami tentu akan melihatnya. Fungsinya sederhana, foto itu adalah ungkapan pesan dari mamak dan bapak. “Hati-hati di jalan, kau baru meninggalkan keluargamu. Kembalilah dengan selamat.” Ketika pulang, foto itu juga akan pertama kali menyapa dan kembali mengucapkan pesan “Selamat datang, akhirnya kau pulang.”

Setidaknya, foto itu adalah penghalang terakhir kalau-kalau ada salah satu dari kami ingin meninggalkan keluarga ini. Foto itu akan jadi penghalang terakhir yang buru-buru meneriaki ilham kami. “Kau ingin pergi? Kau lupa darimana kau berasal? Kau lupa kau punya tawa yang kau buat di rumah ini? Kau ingin meninggalkan dan menghapus semua itu? Apa ini kau?”

Foto itu bukan sekedar foto keluarga. Foto itu adalah foto yang mengingatkan kami sekeluarga atas apapun yang terjadi.

Percaya atau tidak. Belakangan foto itu yang punya peran besar soal penyelesaian masalah yang pribadi aku alami. Foto itu jadi pengingat tentang berbagai hal. Tentang kebodohan-kebodohan. Tentang lupanya aku, soal mengapa hidup di dunia. Foto itu yang menenangkan ego ini. Foto yang membuat aku paham untuk bisa pelan dalam menghadapi hidup.

Aku bersyukur. Mamakku memasang foto itu di ruang tamu. Sewaktu-waktu, ketika kami butuh jawaban. Kami bisa ke ruang tamu dan melihat foto itu untuk menjadikannya sebagai salah satu pertimbangan dan alasan.

Sebegitu pentingkah keluarga untukku?

Bahkan mungkin bisa saya jawab dengan frasa “Sangat-sangat penting”.

Keluarga bagiku bukan hanya soal ikatan bapak, ibu, kakak, atau adik. Keluarga bagiku adalah alasan utama kenapa tubuh dan isi-isi di dalamnya ini, turun ke dunia. Belakangan, keluarga jadi bahan pikiranku.

Banyak orang di luar sana yang bilang kalau mereka sayang orang tua mereka. Sayang kakak dan adik mereka. Namun rasa sayang itu semua tiba-tiba luntur hanya karena rasa sayangnya pada manusia baru yang awalnya tidak ia kenal.

Benar. Mencintalah dengan sederhana, karena yang istimewa hanya cinta seorang ibu dan bapak pada anaknya yang tidak pernah kenal kata putus.

Jika kalian memang bilang kalau kalian sayang pada ibu. Tapi kenapa? Kenapa kalian meninggalkan tugas, mengabaikan kewajiban, tidak makan, menyiksa diri hanya karena dilukai oleh orang yang bukan siapa-siapamu awalnya. Begitukah caramu menunjukkan rasa sayang pada orang yang melahirkanmu? Dengan menyia-nyiakan kesempatan dan buah keringat bapak-ibu untukmu yang malah happy-happy atau bersedih-sedih ria karena orang lain yang mungkin kau sebut dengan kata “cinta sejati”. Orang yang sejujurnya baru mengenalmu beberapa minggu, bulan atau tahun. Jelas tidak lebih lama dari kedua orang tuamu.

Memang benar. Kelak, sebagai anak, kita akan jadi seorang ayah atau ibu selanjutnya. Namun sebelum kalian menyentuh semua itu. Mencintalah dengan sederhana. Redam ego dan lihat foto keluargamu di ruang tamu (atau mungkin di ruang-ruang lainnya). Tak selamanya apa yang kau pikir harus kau dapatkan, akan kau dapatkan. Terkadang, apa yang tidak kau dapatkan adalah cara Tuhan untuk mengingatkanmu bahwa kau punya orang yang wajib kau banggakan. Iya, mereka yang sedang kau lihat dalam foto keluarga yang terpajang di ruang tamu.

Keluarga adalah sebaik-baiknya tempat bersandar. Bagaimanapun orang-orang lain di luar sana menolak keberadaanmu, keluarga akan tetap membuka tangan dengan lebar untuk memeluk sedihmu. Memang, kelak kau akan meninggalkan mereka dan membangun keluargamu sendiri. Tapi benarkah kau ingin meninggalkan mereka sebelum mereka bilang di dalam hati, “Anakku sudah sukses saat ini.”

Terima kasih.

0 comments:

Post a Comment