Rasa adalah bagian terdalam dari diri manusia. Tidak ada
yang tahu kapan tertanamnya, kapan tumbuh, dan kapan akan sirna atau terpotong
begitu mudahnya. Rasa bagaikan cuaca. Tidak tentu dan entah kapan bisa
diprediksi dengan tepat. Rasa adalah kemungkinan-kemungkinan kecil yang sulit
dipahami. Rasa adalah bagian rahasia dari setiap diri manusia. Ia tak terjamah.
Kala datang ia tertanam, kala lelah ia terbuang. Rasa masih jadi sebuah
adrenalin yang abadi.
Rasa merupakan malam yang gelap. Tak nampak terang bahkan
sulit diraih. Namun rasa juga jelas tersentuh. Diraba bagai tangan yang tak
bersarung. Rasa begitu liar meluka, ia tumbuh tanpa ibu dan ia mati dengan
banyak orang yang memandanginya selepas sholat subuh. Rasa merupakan doa yang
penuh dengan dialektika. Bahkan schemata tak bisa terjelaskan soal rasa. Setiap
rasa yang ada dalam dunia, ia tercipta dari ranah mata masing-masing jiwa. Rasa
menjadi ambigu kala ia tak terbalas, kala ia tak teradili. Rasa mungkin bagian
dari permainan poker. Tidak ada yang tahu dengan siapa pemegang kartu
terbaiknya. Rasa kala detik jam mulai tak beraturan dan penyakit mulai
berdatangan.
*
Rasa tumbuh dengan harapan. Ia mencari adil dalam ranah ketidakpastian.
Rasa bukan raja. Ia hanya secuil pengabdian. Menunggu adalah aktifitas
terdekatnya. Namun kala rasa jadi hambar, hilang lidah tak bertuah. Kini kau
bertanya soal rasa? Kemarin? Kau kemana saja?
Rasa bukan bungkusan nasi bungkus. Ia tak semudah itu
terbuka dengan hanya menarik getah karet warna merah. Membuka lalu kau bisa
menikmatinya. Rasa bagaikan arena maze runner yang kau dibuat benar-benar bodoh
sebelum masuk. Rasa serumit itu untuk kau jadikan pilihan. Untuk kau bilang
nanti dulu, sedang kau masih bermain-main dengan rasa yang sudah tidak jadi
rasamu. Maka rasa yang utuh kau abaikan dan kau masih mengenang banyak rasa dari langit sore yang absurd.
Rasa bukan aktifitas aktif setiap manusia. Kau tak perlu
mengangkat tangan dan menghormatinya kala ia berkibar. Rasa bukan bendera yang
tergantung tanpa daya di tiangnya. Rasa adalah manusia lain dalam diri manusia.
Ia mencari dan ia butuh ditemani. Jika rasa dikucilkan dan ia tak terhormati,
maka rasa bisa pergi. Tanpa pamit. Tanpa banyak kata-kata lagi. Jangan halangi
rasa, bahkan tubuh yang punya rasa saja tak kuasa untuk menahannya. Rasa begitu
liar untuk dikendalikan. Dengan tangan bahkan seribu sekalipun.
*
Jangan salahkan rasa. Yang terlihat bukan sesuatu yang
nyata. Fakta banyak sembunyi di dalamnya. Rasa bekerja sendiri untuk semua itu.
Genggaman tangan bahkan tak mampu mengubah rasa. Ia ingin pergi? Maka ia akan
pergi! Ia ingin datang? Maka ia akan datang! Jangan memaksa! Rasa bukan untuk
terpaksa. Sekarang kau hanya perlu belajar soal rasa. Mencintai bukan hanya soal
diri. Ini bukan soal cadangan atau batu loncatan. Tapi rasa memang liar. Ia
akan terkunci pada satu yang menganggapnya dan menjadikannya merasakan rasa.
Namun bila masih ada yang tidak menganggapnya sebagai rasa. Rasa itu siap
lari kapan saja. Kau hendak marah soal itu? Marahlah pada hakikatnya sebuah
rasa.
Rasa bukan soal pengakuan. Namun soal menjaga. Terjaga, maka
rasa tetap ada. Namun bila tak terjaga, ia lari kapan saja. Rasa adalah kedilemaan
yang sulit. Aku kehabisan kata-kata soal rasa. Rasa sudah punah dalam tabiat
mungil kepalsuan yang berada. Rasa tak suka tangisan, namun ia suka
pembelajaran. Belajar soal rasa maka rasa belajar soal ia.
Samarinda, 21 April 2017
0 comments:
Post a Comment