Pages

Labels

Friday 21 April 2017

Tentang Rasa, Penghormatan Rasa dan Bagaimana Rasa Bekerja



Rasa adalah bagian terdalam dari diri manusia. Tidak ada yang tahu kapan tertanamnya, kapan tumbuh, dan kapan akan sirna atau terpotong begitu mudahnya. Rasa bagaikan cuaca. Tidak tentu dan entah kapan bisa diprediksi dengan tepat. Rasa adalah kemungkinan-kemungkinan kecil yang sulit dipahami. Rasa adalah bagian rahasia dari setiap diri manusia. Ia tak terjamah. Kala datang ia tertanam, kala lelah ia terbuang. Rasa masih jadi sebuah adrenalin yang abadi.

Rasa merupakan malam yang gelap. Tak nampak terang bahkan sulit diraih. Namun rasa juga jelas tersentuh. Diraba bagai tangan yang tak bersarung. Rasa begitu liar meluka, ia tumbuh tanpa ibu dan ia mati dengan banyak orang yang memandanginya selepas sholat subuh. Rasa merupakan doa yang penuh dengan dialektika. Bahkan schemata tak bisa terjelaskan soal rasa. Setiap rasa yang ada dalam dunia, ia tercipta dari ranah mata masing-masing jiwa. Rasa menjadi ambigu kala ia tak terbalas, kala ia tak teradili. Rasa mungkin bagian dari permainan poker. Tidak ada yang tahu dengan siapa pemegang kartu terbaiknya. Rasa kala detik jam mulai tak beraturan dan penyakit mulai berdatangan.

*
Rasa tumbuh dengan harapan. Ia mencari adil dalam ranah ketidakpastian. Rasa bukan raja. Ia hanya secuil pengabdian. Menunggu adalah aktifitas terdekatnya. Namun kala rasa jadi hambar, hilang lidah tak bertuah. Kini kau bertanya soal rasa? Kemarin? Kau kemana saja?

Rasa bukan bungkusan nasi bungkus. Ia tak semudah itu terbuka dengan hanya menarik getah karet warna merah. Membuka lalu kau bisa menikmatinya. Rasa bagaikan arena maze runner yang kau dibuat benar-benar bodoh sebelum masuk. Rasa serumit itu untuk kau jadikan pilihan. Untuk kau bilang nanti dulu, sedang kau masih bermain-main dengan rasa yang sudah tidak jadi rasamu. Maka rasa yang utuh kau abaikan dan kau masih mengenang banyak rasa dari langit sore yang absurd.

Rasa bukan aktifitas aktif setiap manusia. Kau tak perlu mengangkat tangan dan menghormatinya kala ia berkibar. Rasa bukan bendera yang tergantung tanpa daya di tiangnya. Rasa adalah manusia lain dalam diri manusia. Ia mencari dan ia butuh ditemani. Jika rasa dikucilkan dan ia tak terhormati, maka rasa bisa pergi. Tanpa pamit. Tanpa banyak kata-kata lagi. Jangan halangi rasa, bahkan tubuh yang punya rasa saja tak kuasa untuk menahannya. Rasa begitu liar untuk dikendalikan. Dengan tangan bahkan seribu sekalipun.

*
Jangan salahkan rasa. Yang terlihat bukan sesuatu yang nyata. Fakta banyak sembunyi di dalamnya. Rasa bekerja sendiri untuk semua itu. Genggaman tangan bahkan tak mampu mengubah rasa. Ia ingin pergi? Maka ia akan pergi! Ia ingin datang? Maka ia akan datang! Jangan memaksa! Rasa bukan untuk terpaksa. Sekarang kau hanya perlu belajar soal rasa. Mencintai bukan hanya soal diri. Ini bukan soal cadangan atau batu loncatan. Tapi rasa memang liar. Ia akan terkunci pada satu yang menganggapnya dan menjadikannya merasakan rasa. Namun bila masih ada yang tidak menganggapnya sebagai rasa. Rasa itu siap lari kapan saja. Kau hendak marah soal itu? Marahlah pada hakikatnya sebuah rasa.

Rasa bukan soal pengakuan. Namun soal menjaga. Terjaga, maka rasa tetap ada. Namun bila tak terjaga, ia lari kapan saja. Rasa adalah kedilemaan yang sulit. Aku kehabisan kata-kata soal rasa. Rasa sudah punah dalam tabiat mungil kepalsuan yang berada. Rasa tak suka tangisan, namun ia suka pembelajaran. Belajar soal rasa maka rasa belajar soal ia.
 
Samarinda, 21 April 2017

0 comments:

Post a Comment