Perempuan
ini telah sering kuceritakan berulang-ulang kali di beberapa tulisanku terakhir
di tempat ini. Perempuan yang secara sepakat denganku, menjalani kisah kami
berdua. Perempuan yang secara sepakat ingin memiliki cita-cita bersama berdua.
Perempuan yang mengajarkan banyak dan mendewasakan diriku.
Perempuan
yang kuat. Entah, apa aku punya kiasan lain untuk menggambarkan bagaimana
kondisinya selain kata kuat. Perempuan yang punya begitu besar harapan dan
cita-cita. Melangkahkan kakinya dengan tidak mudah.
Setahun
yang lalu, aku mengarungi perkuliahan terakhirku. Ditemani olehnya, aku
mengerjakan semuanya dengan begitu banyak tekanan. Tidak perlu didebat, kita
sepakat bahwa mengerjakan skripsi di akhir tahun perkuliahan itu adalah
pekerjaan berat, bukan? Bahkan ada sebagian dari kawan-kawanku sendiri yang
menyentuh seminar awal pun belum. Ia setahun yang lalu, menemaniku melewati ujian
terakhir sampai akhirnya wisuda dan bahkan menemaniku mendapatkan pekerjaan
kemudian.
Sekarang.
Gantian.
Ia
adalah adik tingkatku sendiri di kampus. Beda jurusan memang, tapi masih satu
tempat kuliah. Bila setahun yang lalu, aku yang melewati masa skripsi. Maka
sekarang gantian dirinya. Tapi ia tidak memilih dengan cara biasa.
Dulu,
ketika aku mengerjakan skripsi. Aku tidak punya pekerjaan lain, selain
menyelesaikan skripsi itu sendiri. Sedangkan dirinya, mengambil jalan beda. Jauh
sebelum masa skripsi itu datang, ia memutuskan untuk mengetuai organisasi
mahasiswa di kampus. Bahkan organisasi terbesar dan paling berpengaruh. Bukan
menjadi anggota biasa, tapi dia memutuskan menjadi ketuanya.
Saat
itu, aku sudah mengingatkan soal beratnya masa skripsi kelak. Menambah dengan
pekerjaan mengetuai sebuah organisasi berpengaruh di kampus, rasanya akan
menjadi tambah berat. Tapi ia meyakinkanku. Bahwa dirinya mampu. Lantas saat
itu, baiklah berjalan semuanya.
Ia
berhasil mengetuai dan masa skripsi itupun datang.
Menjadi
ketua tidak mudah. Membawahi banyak orang, bahkan bertanggung jawab atas
kesalahan bawahan, rasanya jadi makanan setiap harinya. Menjadi ketua tidak
mudah. Melakukan yang salah, banyak yang protes. Melakukan yang benar, tetep
masih dicari kesalahannya. Begitulah rasanya memimpin yang dirasakannya.
Belum
ditambah dengan tugas-tugas kampus yang masih ada. Makin membuatnya terlihat
penuh dengan beban. Lagi, ditambah dengan kewajiban menyusun skripsi.
Jujur.
Sumringah ketika awal sekali ia menjadi ketua hingga hari ini, jauh berbeda.
Meski lisannya tak pernah berusaha menyalahkan pekerjaan mengetuai organisasi ini,
tapi nyatanya mata, tarikan nafas, tak akan pernah bisa berbohong. Pikiran
telah menumpuk berat di pundaknya, semakin hari semakin membuatnya seperti
kehilangan gairah untuk hidupnya.
Mungkin
tak banyak yang bisa kuceritakan di dalam sini. Tapi aku tau segala hal yang
dihadapinnya selama menjadi ketua. Betapa banyaknya hal-hal menyebalkan. Drama
dari orang-orang yang tidak suka dan kerap mencari celah untuk memaki. Lalu
bagaimana orang-orang yang menjadi teman penggerak organisasi yang semakin lama
semakin tidak sejalan dan menunjukkan wujud asli mereka. Adalah begitu banyak
hal yang membuatnya semakin terlihat memiliki tatapan kosong.
Lalu
ditambah dengan tekanan tugas kampus dan kewajiban menyelesaikan skripsi.
Rasanya semakin membuatnya seperti kehilangan fokus. Bahkan, mungkin kehadiranku
juga sedikit banyaknya membuat dirinya semakin berat.
Meski
begitu. Walau beratnya yang teramat sangat bahkan sampai tidak mampu aku deskripsikan
dengan baik. Ia nyatanya mampu melewati semua. Ia bahkan mampu melakukan ujian
seminar pertamanya. Bahkan menjadi mahasiswa pertama di angkatannya yang
melakukan seminar. Hasil dari seminar proposal skripsinya pun cukup baik.
Walupun minus beberapa jam menjelang seminar, ia harus dihadapkan lagi-lagi
oleh drama-drama organisasinya.
Di
atas motor, berdua ia mencurahkan segala masalahnya kepadaku dan bagaimana
kegelisahannya, padahal sebentar lagi ia harus melakukan seminar yang
membutuhkan fokus lebih. Untunglah, semua bisa terlewatkan. Tapi, selesainya
seminar 1 tidak membuatnya bisa sedikit longgar. Tugas perkuliahan masih ada,
menjadi ketua masih sekitar beberapa minggu lagi, bahkan revisi hasil seminar proposal
dan keberlanjutan skripsi juga masih ada.
Aku
berusaha menjadi bagian darinya. Berusaha membantu meniti berat yang ia punya.
Tapi, terkadang aku sendiri masih menjadi hantu yang kerap bukan membantu, tapi
malah menambahkan beratnya. Kadang aku merasakan betapa gemuruhnya perasaan
kekasihku itu.
Aku
tahu, semua ini berkecamuk dalam dadanya. Berteriak minta diselesaikan
seluruhnya bersama-sama. Tapi ia manusia biasa, ia perempuan biasa, ia sama
seperti lainnya. Ia punya batas mampu.
Sampai
beberapa hari belakangan ini. Rasanya aku benar-benar merasakan dirinya yang
teraduk-aduk dengan berbagai macam hal.
Sampai
aku memutuskan menuliskan ini. Pesan singkat untuk kekasihku, Niwa.
Kasih.
Kau
sudah membuktikan banyak hal. Bahwa engkau mampu meski sedang menyandang gelar
ketua. Engkau mampu menyelesaikan kewajiban asli mahasiswamu, meski semua orang
tahu bahwa engkau juga memiliki tanggung jawab pemimpin. Engkau berhasil
melewati segala macam hal, yang terperih dari menjadi ketua. Melewati para
pembencimu, melewati teman-teman yang sebagian sudah mungkin kehilangan rasa
terhadapmu. Serta beban-beban lainnya.
Kadang
semua ini perlu dilewati. Jangan gundahkan mereka yang membenci, jangan gundahkan
teman-teman yang mulai menepi darimu dan meninggalkanmu sendiri. Percayakan
pada waktu, bahwa alam akan membawa kesadaran mereka pada kenyataan yang sedang
menghinggapimu.
Tetaplah
tegak, tetaplah percaya, tetaplah jadi orang baik. Teman-teman yang menepi, kelak
akan kembali. Mereka hanya kurang mengetahui banyak tentangmu. Sedang kau sendiri,
tidak punya tugas untuk menjelaskan pada mereka tentang dirimu. Biar mereka
belajar pada alam, nanti alam yang menjelaskan pada mereka tentangmu sesungguhnya.
Lantas kelak ketika mereka sadar dan kembali datang padamu. Engkau menyambut
mereka dengan senyum penuh maaf.
Kasih.
Engkau adalah perempuan kuat yang kutemui. Perempuan yang mampu melewati semua
ini dengan bahagia. Aku bersyukur sepakat berdua denganmu
Kadang
aku merindukanmu. Merindukanmu penuh seperti ketika semua beban belum menghampiri
pundakmu. Tapi, aku mencintaimu penuh. Bagaimana pun keadaanmu.
Aku
hanya tidak ingin engkau terus dipenuhi kebingungan, kasih. Dipenuhi ketidaktenangan.
Aku selelalu bahagia ketika bisa melihatmu tersenyum saat sedang bersamaku. Aku
ajak kau kemana saja, atau menemanimu kemana saja. Karena saat bersamalah aku
sedikit banyaknya mampu mengalihkan semua kepenuhan di kepalamu. Tapi kita tau,
mungkin kehadiranku tidak bisa sepenuhnya dalam sepenuh hari. Lantas setumpuk
pikiran itu akan datang lagi jika kau tak bersamaku.
Tapi
jangan risau kasih. Doa dan diriku sejujurnya ada bersamamu. Aku hanya bisa
memintamu bersama kasih. Lewatilah semua ini dengan aku yang akan menemani. Tugasmu
sebagai ketua sebentar lagi selesai. Lantas bisa kembali menatap kewajiban
aslimu di skripsi. Aku juga yakin sebentar lagi skripsimu selesai. Semua akan
berlalu, cepat atau lambat semua akan berakhir.
Jangan
takut kasih. Engkau mampu lewati ini.
Kasih.
Sehatlah.
Aku
membutuhkanmu untuk melangkah bersama di masa yang akan datang. Kapal kita
sudah hampir siap. Kita pun sebentar lagi akan menaikinya dan berangkat. Badai
di darat saat ini mungkin cukup berat, tapi di laut kelak, pasti akan lebih
mengerikan lagi. Aku butuh kamu kasih, kita lewati badai kita sama-sama. Kita
arungi lautan kita sama-sama.
Maaf
bila aku masih kurang sempurna untukmu. Jangan lelah pada kekuranganku, kasih.
Belajarlah kita sama-sama, tumbuhlah kita berdua.
Aku
mencintaimu, Niwa.
Tulisan ini dari Kekasihmu, Pandu...
0 comments:
Post a Comment