Dewasa
ini, kita telah puas disuguhkan berita yang hampir sama setiap hari, baik itu yang
berada pada koran, televisi, media internet, bahkan informasi dari mulut ke
mulut, tentang beberapa orang yang melakukan tindak pidana korupsi, yang dalam
pengertian sederhananya yakni berusaha memperkaya diri dengan cara yang tidak
benar.
Sehingga
korupsi saat ini, seakan sudah menjadi hal yang lumrah untuk kita dengar di
masyarakat Indonesia. Bahkan Indonesia di tahun 2014 mendapatkan skor 34 dari
100 poin untuk kebersihan negara dari tindakan korupsi, dan ini pula yang
menyebabkan Indonesia menduduki peringkat 107, masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
negara tetangga lainnya. Dengan
rendahnya prestasi Indonesia sebagai negara yang bersih dari tindakan korupsi
seperti saat ini, apakah ini
menjadi perhatian penting untuk diri kita?
Sebenarnya,
korupsi dengan sangat mudah dapat dicegah, bahkan melalui hal-hal yang cukup
sederhana, terutama melalui pendekatan pendidikan
dan pengajaran di dalam sebuah keluarga.
Namun
sebenarnya korupsi juga dapat terus
bertambah, jika pengajaran yang dilakukan salah, secara tidak langsung ditularkan
oleh orang tua, yang terus-menerus diturunkan dan jika mata rantai ini tidak
diputus, akan terus menularkan bibit –bibit koruptor dimasa depan.
Sebenarnya
jika kita melihat kasus korupsi selama ini, korupsi dilakukan oleh seseorang
atas dasar kebutuhan yang berlebih. Merasa tidak cukup, membuat seseorang melakukan
korupsi tersebut. Lalu yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa para koruptor
itu harus melakukan sebuah rutinitas pencarian harta haram? Apakah gaji mereka
tidak cukup?
Jika
itu pertanyaannya, sebenarnya jawaban yang pasti hanya bisa didapatkan dari
sang pelaku korupsi itu sendiri. Namun, tetap yang mendasari seseorang melakukan
kejahatan adalah atas dasar kebutuhan. Bisa jadi, semakin banyaknya anak, dan semakin
banyaknya jumlah istri, akan berjalan beriringan dengan semua kebutuhan yang
diharapkan. Dan dengan bibit inilah yang mengakibatkan korupsi itu bisa saja terjadi.
Dari
sudut pandang kependudukan, sebenarnya korupsi bisa dan sangat dapat diatasi
dengan cara menekan pertumbuhan pendudukannya. Jika kita kembali menelisik
penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena banyaknya kebutuhan yang
diinginkan oleh keluarganya, bisa jadi jumlahlah yang mempengaruhi ini semua.
Bayangkan
saja, jika seorang koruptor memiliki lebih dari satu anak dan satu istri yang
seluruhnya menuntut kebutuhan yang lebih. Saat itulah, mungkin saja sang pelaku
korupsi akan mencoba memutar otak, untuk menemukan cara agar dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan keluarganya tersebut.
Semakin
banyak anak, semakin banyak pula yang menuntut kepada kepala keluarga, yang
akhirnya akan menjerumuskan sang kepala keluarga dalam lubang korupsi itu
sendiri.
Jika
kita benar-benar ingin memikirkan ini, kita bisa dengan mudah sebenarnya
memutus mata rantai korupsi dengan cara yang cukup sederhana, yakni mengurangi
jumlah anak dalam keluarga. Seorang kepala keluarga harus benar-benar
memikirkan apakah dirinya sanggup.
Satu
anak dan satu istri sudah cukup demi kebahagiaan keluarga tersebut, apalagi
dimasa seperti ini, dimana penduduk sudah semakin membludak. Jika kita mau menekan
itu, bisa jadi bibit-bibit untuk melakukan korupsi pun tidak akan pernah ada
lagi.
Orang
tua yang tidak perlu memikirkan keinginan anak yang mahal, apalagi banyak akan bisa ditekan. Belum lagi, bagi seorang
kepala keluarga, harus benar-benar meyakini, bahwa membahagiakan dua orang saja, itu lebih
gampang, dibandingkan harus membahagiakan lebih dari jumlah tersebut.
Sebagai
kepala keluarga yang hanya memiliki satu
anak dan satu
istri, juga pasti akan mampu memberikan satu
anak serta satu istri
tersebut, semua apa yang mereka butuhkan, tanpa harus membagi lebih banyak
lagi.
Mari
kita sejenak mencoba untuk berandai-andai, bila seorang suami memiliki uang Rp.
3.000.000,- dan ingin membelikan seluruh keluarganya handphone, paling tidak
seorang suami akan bisa memberikan satu anak dan satu istri serta dirinya sendiri handphone dengan standar harga
Rp. 1.000.000-an. Dibanding harus membagi
lebih dari itu, seperti dengan 2
anak 1 istri, atau mungkin 3 anak dan 1 istri. Kebahagiaan akan
sangat sulit diraih dengan pembagian seperti itu.
Ini
juga yang terjadi pada hampir seluruh kejahatan yang terjadi diluar dari
korupsi, tidak cukupnya uang yang dimiliki dengan kebutuhan, dan keinginan dari
seluruh keluarga yang menjadi penyebab semuanya berkembang.
Seperti
perampokan, pencurian, penipuan, atau berbagai jenis kejahatan yang berkenaan
dengan mengambil hak dari orang lain. Kebutuhan keluargalah yang menyebabkan
itu semua terjadi.
Bahkan,
dengan mengurangi jumlah keturunan tersebut, kita juga dapat membuat diri kita
menjadi sebuah pembelajaran tidak langsung untuk anak, agar mereka dapat
benar-benar menjadi generasi yang baru, yang benar-benar bebas dari korupsi.
Anak-anak
identik dengan sifat meniru.
Siapa yang bisa menjamin seorang anak koruptor, kelak tidak akan menjadi
koruptor juga? Meski juga sebaliknya tidak ada yang pernah bisa menjamin
seorang anak pemuka agama tidak akan melakukan tindakan korupsi di masa depan.
Namun,
anak sebagai sosok
yang suka meniru sudah akan pasti mendapatkan masukan yang lebih besar dari
orang tua mereka. Jika seorang ayah sudah menjadi orang yang bersih dan tidak menyentuh
area korupsi, bisa jadi anak akan belajar bagaimana agar bisa menjadi seperti
ayahnya, atau bahkan lebih baik dari ayah si anak tersebut.
Ini
juga yang harus menjadi pemikiran bagi anak muda saat ini, pemikiran untuk
benar-benar merencanakan dan mempersiapkan masa depan. Kita sebagai kaum muda
yang nantinya akan meneruskan perjuangan bangsa, paling tidak harus memutus
mata rantai ini langsung, dengan cara membatasi jumlah keturunan maksimal 2 anak cukup.
Sungguh,
efek dari kurangnya jumlah keturunan, pasti akan membuat keluarga kita kelak
akan lebih baik dan lebih sejahtera. Anak muda sekarang juga sudah tidak perlu
lagi takut akan kehabisan uang, atau kelak tidak menjadi orang yang mapan. Mengurangi
jumlah keturunan, akan membuat kita terjaga dan terhindar dari ketakutan itu
sendiri.
Yang
terpenting adalah terencananya masa depan kita dari usia pernikahan, lalu berapa
jumlah anak yang akan dimiliki, serta merencanakan juga kebahagiaan kita
sendiri.
Memang
sedikit berbeda dari cara pada umumnya. Namun, cara sederhana dengan mengurangi
jumlah keturunan ini, akan setidaknya
dapat membantu Indonesia untuk lepas dari jerat korupsi.
Kita
harus mau mulai membuka pikiran kita, mau membuka hati dan mau memahami masalah kita saat
ini. Dulu dan sekarang sangatlah berbeda, saat ini bumi kita memiliki jumlah
manusia melebihi kapasitas seharusnya. Perlu diingat lagi, semakin banyaknya
orang, maka semakin sulit juga kita memenuhi kebutuhan kita.
Sehingga,
satu-satunya cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengurangi jumlah
penduduknya.
Pilihan
kembali kepada tangan kita masing-masing, namun akankah kita mau melahirkan
generasi yang kelak akan merusak nama baik Indonesia dimata dunia?
Maukah
kita menciptakan generasi yang kelak akan merusak nama baik keluarga kita?
Maukah
kita kelak akan disalahkan oleh orang banyak karena telah melahirkan generasi
perusak?
Dan
yang paling terpenting, akankah kita kelak mau diminta pertanggung jawaban oleh
Yang Mahakuasa
karena sudah tidak mampu menciptakan sosok keturunan yang baik?
Kita
tidak akan pernah bisa merubah nasib keterpurukan bangsa kita, jika kita tidak
mau terbuka. Mungkin cara sederhana ini akan memperbaikinya, meski sedikit
sulit, namun percayalah, kelak pasti akan bisa.
Ingat,
Indonesia menunggu itu. Pejuang kita, menunggu perubahan itu. Negara kita,
menunggu generasi baru.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel Motivator Muda Kependudukan Tahun 2016
Pandu Pratama Putra
0 comments:
Post a Comment