Apakah anda pernah merasakan betapa nikmatnya jajanan
yang dijual di pinggir jalan? Di depan pagar sekolah? Atau bahkan di pasar?
Sebagai
seorang manusia yang Indonesia banget, saya hobi sekali makan jajanan pinggir
jalan. Pentol goreng, pentol rebus, pentol bakar, gorengan, gulali, kerupuk,
dan lain sebagainya yang mungkin di tempat kalian, namanya berbeda-beda.
Intinya saya termasuk suka jajanan, apalagi jajanan itu dibuat oleh orangnya
langsung, alias bukan frozen food seperti sosis dan lain sebagainya.
Jajanan
seperti itu mengingatkan saya ketika kecil dulu. Mengingatkan betapa bahagianya
saya ketika masih SD yang belum kenal apa itu gadget, saya dan teman-teman
bahagia dengan jajanan-jajanan itu ketika istirahat tiba.
Ketika
saya kuliah seperti saat ini pun, saya masih suka sesekali jajan di kampus. Menyantap
pentol goreng penuh kenangan yang berjualan di daerah kampus yang menurut saya
rasanya nikmat, apalagi kalau disantap ketika otak sedang penat.
Tapi,
saya mulai ingat sesuatu ketika melihat para penjual jajanan ini. Mereka memang
menjual makanan dengan tidak berstandar kebersihan yang pas, dan ini juga yang
sering menimbulkan banyak kekhawatiran orangtua dan banyak orang diluar sana
dengan kesehatan jajanan anak-anak mereka, ketika sedang tidak berada di dalam
rumah.
Tidak
bisa dipungkiri, memang kekhawatiran itu beralasan, ketika melihat para penjual
jajanan ini berjualan. Kadang mereka berbaju seadanya, menggunakan kendaraaan
yang tidak pernah di cuci, minyak untuk mengoreng pun tidak terlihat bersih,
karena sudah dipakai berulang-ulang kali. Belum lagi, penampilan rambut tukang
jual jajanan selalu random. Jika dia laki-laki, kadang ada yang berambut panjang
dan terurai layaknya rokstar dengan alat musiknya penggorengan dan spatula
serta tusuk pentol. Kadang, mereka juga benar-benar tidak memerhatikan bau
badan, ketika dekat bau mereka memang tidak sedap dihirup, dicium, apalagi
dikoleksi. Tapi, meski begitu, ketika memakan makanannya, entah mengapa rasanya
tetap enak. Ini sungguh konspirasi
Dengan
penampilan seperti ini, wajar bila orangtua akan berpandangan miring, dan
akhirnya melarang anak-anak mereka untuk jajan di tukang jajanan pinggir jalan.
Di
tambah lagi, kekhawatiran itu sekarang lebih dibumbu-bumbui dengan ketakutan
yang bisa jadi benar, bisa jadi salah. Seperti mitos penjual pentol ayam yang
tidak menggunakan ayam sehat, melainkan ayam tiren (alias ayam mati dengan
keren tapi matinya kemarin), yang memang secara bahan tidak layak untuk
dimakan. Ada lagi mitos penggunaan banyak MSG pada makanan yang dibuat, atau
bahkan ada yang mengatakan menggunakan bahan-bahan kimia agar jajanan itu awet
dan tahan lama, dengan menambahkan formalin serta boraks didalamnya. Ya...... Yang
tahu semua itu memang hanya penjualnya itu sendiri, tapi karena dari tampilan
para tukang jual jajanan ini yang tidak terlihat layak, tak ayal orangtua
percaya mitos-mitos itu.
Sebenarnya
saya sendiri, di satu sisi membela para penjual jajanan ini. Karena saya tahu,
bahwa mereka jualan juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, mengumpulkan
sepeser uang dari kebahagiaan orang-orang yang makan jajanan mereka, hanya
untuk membiayai agar anak mereka tetap dapat melanjutkan sekolah, atau
memberikan istri makan, dan mungkin sedikit-sedikit menambung untuk membelikan
sang istri rumah dan memberikan sedikit kebahagiaan.
Ketika
mitos ini menyebar, apakah kita tidak memikirkan nasib para penjual-penjual
jajanan ini? Mereka yang benar-benar berjualan jujur, hanya untuk menghidupi
keluarga, jadi kena imbasnya juga.
Sebenarnya
saya ingin berpendapat. Andaikan saya sebagai orangtua, seharusnya kita tidak
perlu melarang anak-anak untuk membeli jajanan seperti ini, melainkan hanya
membatasi, karena jajananan seperti ini lebih baik, ketimbang seorang anak
membeli frozen food seperti sosis yang sangat jelas proses pembuatannya kita
tidak tahu bagaimana. Mereka membangun semua itu di pabrik, jadi ke pasaran
sudah berbentuk bersih dan berbentuk plastik yang siap kita santap dengan cara
menggoreng sendiri dirumah. Dengan kemasan yang bersih, kita menganggap itu
semua bersih. Padahal, di dalamnya kita tidak tahu, apakah mereka memproduksi
itu lebih bersih dari jajanan para penjual jajanan yang kita anggap sebelah
mata tadi?
Jajajan
pinggir jalan itu juga saya rasa lebih sehat (meski tidak terlalu sehat-sehat
sekali bila dibandingkan dengan mengkonsumsi sayur dan buah) karean mereka
memproduksinya pada malam hari sebelum besoknya diolah dan dijual, betapa
freshnya ketimbang frozen food?
Jadi
saya rasa, kita seharusnya percaya dan membiarkan sesekali anak, saudara, atau
bahkan kita sendiri untuk memakan jajanan yang ada diluar sana, tapi
memang..... Kita tidak bisa membiarkan tanpa ada perubahan, semua ini harus
berlaku seperti layaknya simbiosis mutualisme.
Ketika
mitos itu semua dibuang. Ketika tidak ada lagi orangtua melarang melarang
anaknya makan jajanan pinggir jalan karena di dalamnya terdapat MSG yang
berlebih, atau menggunakan obat-obatan kimia yang berbahaya. Saat itu juga,
seharusnya para penjual jajanan, mau dan punya andil untuk merubah paradigma
ini.
Seharusnya
para penjual lebih rapi, lebih berstandart dan lebih layak dilihat oleh para
pembelinya. Semisal memperbaiki pakaian, apakah salah seorang penjual pentol
berpakaian rapi? Menggunakan kemeja, tidak perlu mahal, cukup beli murah di
pasar baju bekas, dengan selalu mensetrikanya sebelum digunakan berjualan. Saya
rasa, dengan begitu para penjual akan terlihat lebih layak.
Lalu
para penjual selalu memerhatiakan bau badan, menggunakan parfume misalnya, dan
memerhatikan tatanan rambut mereka. Tidak perlu pakai pomade (KEMAHALAN) untuk
merapikan rambut panjang mereka. Gunakan topi, dan rapikan semua agar tidak
terlihat terurai seperti rockstar yang ingin konser. Dengan seperti itu, saya
rasa anggapan para penjual makanan itu rendah pun, bisa diatasi.
Yang
paling penting adalah, ketika kepercayaan itu telah diberikan oleh masyarakat,
seharusnya para penjual pun merawat kepercayaan itu, dengan cara memberikan
makanan yang lebih bersih, makanan yang lebih halal, dan tentunya makanan yang
lebih sehat. Mengganti minyak penggorengan secara berkala, dan menjaga kebersihan
alat produksi, serta kalau perlu menggurangi takaran MSG dan penguat rasa
lainnya.
Saya
rasa para pelanggan makanan pun akan paham maksud baik penjual ketika sebelum
memesan, para pembeli diberitahukan bahwa makanan yang ia jual bebas MSG dan
mungkin akan memiliki rasa yang tidak terlalu kuat, namun sehat. Pembeli, saya
rasa akan kembali lagi, bila penjual jajanan ramah dan jujur seperti itu.
Lagian
MSG bukan satu-satunya cara untuk mempergurih rasa, masih banyak rempah-rempah
yang sehat diluar sana, yang jelas tentu dapat menggantikan kegurihan MSG,
semisal kaldu buatan sendiri yang alami. Dengan cara yang mungkin memang lama
dalam pembuatannya, tapi sudah pasti sehat dan tidak mengecewakan para
pelanggan.
Intinya
saat ini adalah, kita harus sama-sama memerhatikan diri sendiri dan orang lain.
Ketika kita melarang anak-anak untuk makan jajanan, saat itu juga akan ada
orang-orang diluar sana yang malah kesusahan memberikan anak mereka makan.
Namun ketika kita mendapatkan perizinan dari masyarakat pula, saat itu
seharusnya para penjual mulai berbenah dan memperbaiki cara berjualan mereka.
Kita
sama-sama hidup di dunia, bukan sebagai orang yang individualis. Kita bersosial,
sama-sama saling bergantung antara satu dengan satu lainnya. Satunya butuh uang,
satunya lagi butuh makan. Kalau kita melarang, bisa jadi kita tidak makan, dan
yang lainya tidak punya uang. Semua berputar, tidak selamanya yang di atas itu
di atas, dan yang di bawah tidak selamanya tertatih di bawah. Karena jika kita
melarang hari ini, bisa jadi, besok malah kita yang kena larangan, karena
posisi bisa saja berubah.
So......Mari sama-sama
kita mengubah diri dan memperbaiki
Salam Dunia Kelambu.
Instagram : @pandupandaa
Twitter : @pandupandaa
Pada kesimpulannya, harus dari diri sendiri yg menjaga dan membatasi. Karna jika kita mengurangi bahkan tak jajan diluar lagi, para penjual pun akan menyadari bahwa yg mereka lakukan itu salah dan smoga mengubah mereka menjadi pengolah dan penjual makanan yg lebih kreatif yg mengutamakan kesehatan para konsumennya. Karna sehat itu mahal, dan lebih pentingnya lagi, jajanan ini untuk *anak negeri* yang masih dalam pertumbuhan yg mengandalkan gizi, generasi sehat yg akan membangun negeri, generasi cerdas yg sangat dinanti. So.... harus tetap bijak dalam mengonsumsi.
ReplyDeleteBenar ibu eka :) semuanya kembali lagi kediri pribadi masing-masing, ini hanya solusi kecil dari pemuda kecil yang berharap tidak ada orang yang akgirnya takut berusaha dan mencari nafkah dengan cara yang mungkin dianggap orang miring. Hehe :)
Delete