Pages

Labels

Sunday, 7 February 2016

Penjual Jajanan Tidak Salah









            Apakah anda pernah merasakan betapa nikmatnya jajanan yang dijual di pinggir jalan? Di depan pagar sekolah? Atau bahkan di pasar?

Sebagai seorang manusia yang Indonesia banget, saya hobi sekali makan jajanan pinggir jalan. Pentol goreng, pentol rebus, pentol bakar, gorengan, gulali, kerupuk, dan lain sebagainya yang mungkin di tempat kalian, namanya berbeda-beda. Intinya saya termasuk suka jajanan, apalagi jajanan itu dibuat oleh orangnya langsung, alias bukan frozen food seperti sosis dan lain sebagainya.

Jajanan seperti itu mengingatkan saya ketika kecil dulu. Mengingatkan betapa bahagianya saya ketika masih SD yang belum kenal apa itu gadget, saya dan teman-teman bahagia dengan jajanan-jajanan itu ketika istirahat tiba.

Ketika saya kuliah seperti saat ini pun, saya masih suka sesekali jajan di kampus. Menyantap pentol goreng penuh kenangan yang berjualan di daerah kampus yang menurut saya rasanya nikmat, apalagi kalau disantap ketika otak sedang penat.

Tapi, saya mulai ingat sesuatu ketika melihat para penjual jajanan ini. Mereka memang menjual makanan dengan tidak berstandar kebersihan yang pas, dan ini juga yang sering menimbulkan banyak kekhawatiran orangtua dan banyak orang diluar sana dengan kesehatan jajanan anak-anak mereka, ketika sedang tidak berada di dalam rumah.

Tidak bisa dipungkiri, memang kekhawatiran itu beralasan, ketika melihat para penjual jajanan ini berjualan. Kadang mereka berbaju seadanya, menggunakan kendaraaan yang tidak pernah di cuci, minyak untuk mengoreng pun tidak terlihat bersih, karena sudah dipakai berulang-ulang kali. Belum lagi, penampilan rambut tukang jual jajanan selalu random. Jika dia laki-laki, kadang ada yang berambut panjang dan terurai layaknya rokstar dengan alat musiknya penggorengan dan spatula serta tusuk pentol. Kadang, mereka juga benar-benar tidak memerhatikan bau badan, ketika dekat bau mereka memang tidak sedap dihirup, dicium, apalagi dikoleksi. Tapi, meski begitu, ketika memakan makanannya, entah mengapa rasanya tetap enak. Ini sungguh konspirasi

Dengan penampilan seperti ini, wajar bila orangtua akan berpandangan miring, dan akhirnya melarang anak-anak mereka untuk jajan di tukang jajanan pinggir jalan.

Di tambah lagi, kekhawatiran itu sekarang lebih dibumbu-bumbui dengan ketakutan yang bisa jadi benar, bisa jadi salah. Seperti mitos penjual pentol ayam yang tidak menggunakan ayam sehat, melainkan ayam tiren (alias ayam mati dengan keren tapi matinya kemarin), yang memang secara bahan tidak layak untuk dimakan. Ada lagi mitos penggunaan banyak MSG pada makanan yang dibuat, atau bahkan ada yang mengatakan menggunakan bahan-bahan kimia agar jajanan itu awet dan tahan lama, dengan menambahkan formalin serta boraks didalamnya. Ya...... Yang tahu semua itu memang hanya penjualnya itu sendiri, tapi karena dari tampilan para tukang jual jajanan ini yang tidak terlihat layak, tak ayal orangtua percaya mitos-mitos itu.

Sebenarnya saya sendiri, di satu sisi membela para penjual jajanan ini. Karena saya tahu, bahwa mereka jualan juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, mengumpulkan sepeser uang dari kebahagiaan orang-orang yang makan jajanan mereka, hanya untuk membiayai agar anak mereka tetap dapat melanjutkan sekolah, atau memberikan istri makan, dan mungkin sedikit-sedikit menambung untuk membelikan sang istri rumah dan memberikan sedikit kebahagiaan.

Ketika mitos ini menyebar, apakah kita tidak memikirkan nasib para penjual-penjual jajanan ini? Mereka yang benar-benar berjualan jujur, hanya untuk menghidupi keluarga, jadi kena imbasnya juga.

Sebenarnya saya ingin berpendapat. Andaikan saya sebagai orangtua, seharusnya kita tidak perlu melarang anak-anak untuk membeli jajanan seperti ini, melainkan hanya membatasi, karena jajananan seperti ini lebih baik, ketimbang seorang anak membeli frozen food seperti sosis yang sangat jelas proses pembuatannya kita tidak tahu bagaimana. Mereka membangun semua itu di pabrik, jadi ke pasaran sudah berbentuk bersih dan berbentuk plastik yang siap kita santap dengan cara menggoreng sendiri dirumah. Dengan kemasan yang bersih, kita menganggap itu semua bersih. Padahal, di dalamnya kita tidak tahu, apakah mereka memproduksi itu lebih bersih dari jajanan para penjual jajanan yang kita anggap sebelah mata tadi?

Jajajan pinggir jalan itu juga saya rasa lebih sehat (meski tidak terlalu sehat-sehat sekali bila dibandingkan dengan mengkonsumsi sayur dan buah) karean mereka memproduksinya pada malam hari sebelum besoknya diolah dan dijual, betapa freshnya ketimbang frozen food?

Jadi saya rasa, kita seharusnya percaya dan membiarkan sesekali anak, saudara, atau bahkan kita sendiri untuk memakan jajanan yang ada diluar sana, tapi memang..... Kita tidak bisa membiarkan tanpa ada perubahan, semua ini harus berlaku seperti layaknya simbiosis mutualisme.

Ketika mitos itu semua dibuang. Ketika tidak ada lagi orangtua melarang melarang anaknya makan jajanan pinggir jalan karena di dalamnya terdapat MSG yang berlebih, atau menggunakan obat-obatan kimia yang berbahaya. Saat itu juga, seharusnya para penjual jajanan, mau dan punya andil untuk merubah paradigma ini.

Seharusnya para penjual lebih rapi, lebih berstandart dan lebih layak dilihat oleh para pembelinya. Semisal memperbaiki pakaian, apakah salah seorang penjual pentol berpakaian rapi? Menggunakan kemeja, tidak perlu mahal, cukup beli murah di pasar baju bekas, dengan selalu mensetrikanya sebelum digunakan berjualan. Saya rasa, dengan begitu para penjual akan terlihat lebih layak.

Lalu para penjual selalu memerhatiakan bau badan, menggunakan parfume misalnya, dan memerhatikan tatanan rambut mereka. Tidak perlu pakai pomade (KEMAHALAN) untuk merapikan rambut panjang mereka. Gunakan topi, dan rapikan semua agar tidak terlihat terurai seperti rockstar yang ingin konser. Dengan seperti itu, saya rasa anggapan para penjual makanan itu rendah pun, bisa diatasi.

Yang paling penting adalah, ketika kepercayaan itu telah diberikan oleh masyarakat, seharusnya para penjual pun merawat kepercayaan itu, dengan cara memberikan makanan yang lebih bersih, makanan yang lebih halal, dan tentunya makanan yang lebih sehat. Mengganti minyak penggorengan secara berkala, dan menjaga kebersihan alat produksi, serta kalau perlu menggurangi takaran MSG dan penguat rasa lainnya.

Saya rasa para pelanggan makanan pun akan paham maksud baik penjual ketika sebelum memesan, para pembeli diberitahukan bahwa makanan yang ia jual bebas MSG dan mungkin akan memiliki rasa yang tidak terlalu kuat, namun sehat. Pembeli, saya rasa akan kembali lagi, bila penjual jajanan ramah dan jujur seperti itu.

Lagian MSG bukan satu-satunya cara untuk mempergurih rasa, masih banyak rempah-rempah yang sehat diluar sana, yang jelas tentu dapat menggantikan kegurihan MSG, semisal kaldu buatan sendiri yang alami. Dengan cara yang mungkin memang lama dalam pembuatannya, tapi sudah pasti sehat dan tidak mengecewakan para pelanggan.

Intinya saat ini adalah, kita harus sama-sama memerhatikan diri sendiri dan orang lain. Ketika kita melarang anak-anak untuk makan jajanan, saat itu juga akan ada orang-orang diluar sana yang malah kesusahan memberikan anak mereka makan. Namun ketika kita mendapatkan perizinan dari masyarakat pula, saat itu seharusnya para penjual mulai berbenah dan memperbaiki cara berjualan mereka.

Kita sama-sama hidup di dunia, bukan sebagai orang yang individualis. Kita bersosial, sama-sama saling bergantung antara satu dengan satu lainnya. Satunya butuh uang, satunya lagi butuh makan. Kalau kita melarang, bisa jadi kita tidak makan, dan yang lainya tidak punya uang. Semua berputar, tidak selamanya yang di atas itu di atas, dan yang di bawah tidak selamanya tertatih di bawah. Karena jika kita melarang hari ini, bisa jadi, besok malah kita yang kena larangan, karena posisi bisa saja berubah.

So......Mari sama-sama kita mengubah diri dan memperbaiki

Salam Dunia Kelambu.

Instagram        :           @pandupandaa
Twitter            :           @pandupandaa

2 comments:

  1. Pada kesimpulannya, harus dari diri sendiri yg menjaga dan membatasi. Karna jika kita mengurangi bahkan tak jajan diluar lagi, para penjual pun akan menyadari bahwa yg mereka lakukan itu salah dan smoga mengubah mereka menjadi pengolah dan penjual makanan yg lebih kreatif yg mengutamakan kesehatan para konsumennya. Karna sehat itu mahal, dan lebih pentingnya lagi, jajanan ini untuk *anak negeri* yang masih dalam pertumbuhan yg mengandalkan gizi, generasi sehat yg akan membangun negeri, generasi cerdas yg sangat dinanti. So.... harus tetap bijak dalam mengonsumsi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar ibu eka :) semuanya kembali lagi kediri pribadi masing-masing, ini hanya solusi kecil dari pemuda kecil yang berharap tidak ada orang yang akgirnya takut berusaha dan mencari nafkah dengan cara yang mungkin dianggap orang miring. Hehe :)

      Delete